-
Hubungan Pria & Wanita.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia ini dalam dua jenis, pria dan wanita. Dan sebagaimana telah diketahui pula bahwa kaum pria pasti membutuhkan kepada kaum wanita, bahkan tidaklah akan sempurna kepriaan/kejantananan kaum pria kecuali dengan adanya wanita yang menjadi pasangan hidupnya. Begitu juga kaum wanita, mereka pasti membutuhkan kepada kaum pria, dan kewanitaannya tidaklah akan sempurna melainkan dengan adanya seorang pria yang menjadi pasangan hidupnya. Mereka saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling memenuhi kebutuhan pasangannya.
Maha suci Allah Yang telah menjadikan kelemahan masing-masing jenis sebagai simbul kesempurnaannya bagi pasangannya. Kaum pria memiliki kelemahan dalam banyak hal, misalnya ia tidak dapat mengandung, kurang sabar mengatur dan merawat anak dan rumah, kurang bisa berdandan, bersuara keras dan kasar, kurang bisa lemah lembut, akan tetapi kekurangan-kekurangannya ini merupakan kesempurnaan bagi wanita yang menjadi pasangannya. Sehingga bila ada pria yang lemah lembut, bersuara merdu, jalannya melenggak-lenggok, suka memasak, senantiasa berdandan biasanya dikatakan sebagai pria yang kurang normal, atau yang sering disebut dengan waria. Begitu juga sebaliknya, kaum wanita memiliki kelemahan berupa, tidak perkasa, bersuara lantang/lantang, kurang bisa tegas, mudah takut, selalu datang bulan, kurang gesit, dan seterusnya. Akan tetapi berbagai kekurangannya ini merupakan kesempurnaan bagi pria yang menjadi pasangannya, sehingga bila ada wanita yang berpenampilan perkasa, bersuara keras, dan tidak suka berdandang maka biasanya disebut dengan tomboy.
Walau demikian, syari’at Al Qur’an tidaklah membiarkan mereka berpasangan bebas, dan dengan cara apapun. Sebab, yang diciptakan dalam keadaan berpasang-pasang semacam ini bukan hanya manusia, tetapi ada makhluq-makhluq lain yang diciptakan demikian juga, misalnya binatang. Binatang juga diciptakan dalam keadaan berpasang-pasang, jantang dan betina, dan mereka saling berpasangan pula.
Oleh karena itu, syari’at Al Qur’an mengatur hubungan antara pria dan wanita dengan syari’at yang dapat menjaga martabat mereka sebagai makhluq yang mulia dan membedakan hubungan sesama mereka dari hubungan binatang sesama binatang. Manusia adalah makhluq yang telah dimuliakan oleh Allah di atas makhluq-makhluq selain mereka, oleh karena itu hendaknya kita sebagai manusia menjaga kehormatan ini dengan cara menjalankan syari’at Al Qur’an yang telah menetapkan kehormatan kita tersebut:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً الإسراء 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al Isra’ 70)
Syari’at Al Qur’an hanya membenarkan dua cara bagi manusia untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya:
-
Cara perbudakan.
Cara ini hanya dapat dilakukan melalui peperangan antara umat Islam melawan orang-orang kafir, dan bila kaum muslimin berhasil menawan sebagain dari mereka, baik lelaki atau wanita, maka pemimpin uamt islam berhak untuk memperbudak mereka, dan juga berhak untuk meminta tebusan atau membebaskan mereka tanpa syarat.
-
Pernikahan.
Hanya dengan dua cara inilah manusia dibenarkan untuk menjalin hubungan dengna pasangannya. dan hanya dengan dua cara inilah tujuan disyari’atkannya hubungan dengan lawan jenis akan dapat dicapai dengan baik. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ الروم 21
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu menyatu dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Rum 21).
Dan Rasulullah menjelaskan akan syari’at yang mengatur hubungan antara lawna jenis ini dengan sabdanya:
(لم ير للمتحابين مثل النكاح) رواه ابن ماجة والحاكمو البيهقي وصححه الألباني
“Tidaklah pernah didapatkan suatu hal yang berguna bagi doa orang yang saling mencintai serupa dengan pernikahan”. Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albani.
Adapun berbagai hubungan selain cara ini, maka tidaklah dibenarkan dalam syari’at Al Qur’an, oleh karena itu Rasulullah bersabda:
(لا يَخْلُوَنَّ رجلٌ بامرأةٍ إِلاَّ ومعها ذو محرم) متفق عليه
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali bila wanita itu ditemani oleh lelaki mahramnya” Muttafaqun ‘alaih. Pada hadits lain Rasulullah menjelaskan alasan larangan ini:
(لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما) رواه أحمد والترمذي والنسائي وصححه الألباني
“Janganlah salah seorang dari kamu berduaana dengan seorang wanita, karena setanlah yang akan menjadi orang ketiganya”. Riwayat Ahmad, At Tirmizy, An Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani.
Bukan hanya syari’at Al Qur’an yang mencela berbagai hubungan lawan jenis diluar pernikahan, bahkan masyarakat kitapun dengan tegas mencela hubungan tersebut, sampai-sampai mereka menyamakan hubungan tersebut dengan hubungan yang dilakukan oleh makhluq selain manusia, yaitu binatang. Mereka menjuluki hubungan diluar pernikahan dengan sebutan : “kumpul kebo”. Julukan ini benar adanya, sebab yang membedakan antara hubungan lawan jenis yang dilakukan oleh binatang dan yang dilakukan oleh manusia ialah syari’at pernikahan. Dan pernikahan dalam syari’at Al Qur’an harus melalui proses dan memenuhi kriteria tertentu, sehingga bila suatu hubungan tidak memenuhi kriteria tersebut, maka tidaklah ada bedanya hubungan tersebut dengan hubungan yang dilakukan oleh binatang.
-
Hubungan Suami Istri.
Rumah tangga adalah suatu tatanan masyarakat terkecil, dan dari rumah tanggalah suatu tatanan masyarakat terbentuk. Keberhasilan suatu masyarakat atau kegagalannya dimulai dari keberhasilan dan kegagalan anggotanya dalam menjalankan roda kehidupan dalam rumah tangga. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap rumah tangga minimal terdiri dari suami dan istri. Oleh karena itu syari’at Al Qur’an memberikan perhatian besar kepada hubungan antara suami dan istrinya, sampai-sampai Rasulullah menjadikan baik dan buruknya hubungan seseorang dengan istrinya sebagai standar kepribadian seseorang:
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي. رواه الترمذي وصححه الألباني
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” Riwayat At Tirmizy dan dishahihkan oleh Al Albany.
Diantara syari’at Al Qur’an yang mengajarkan tentang metode hubungan suami istri yang baik ialah yang disebutkan dalam hadits berikut:
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضى منها آخر. رواه مسلم
“Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” Riwayat Muslim
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan contoh nyata, beliau berkata: “Tidaklah layak bagi seorang mukmin (suami yang beriman) untuk membenci seorang mukminah (istrinya yang beriman), bila ia mendapatkan padanya suatu perangai yang ia benci, niscaya ia mendapatkan padanya perangai lainnya yang ia sukai, misalnya bila istrinya tesebut berakhlaq pemarah, akan tetapi mungkin saja ia adalah wanita yang taat beragama, atau cantik, atau pandai menjaga kehormatan dirinya, atau sayang kepadanya atau yang serupa dengan itu.” (Syarah Muslim Oleh Imam An Nawawi 10/58)
Diantara wujud nyata keindahan syari’at Al Qur’an dalam membina rumah tangga, ialah diwajibkannya seorang suami untuk menunaikan tanggung jawabnya secara penuh, tanpa terkurangi sedikitpun. Mari kita bersama-sama merenungkan kisah berikut:
عن وهب بن جابر يقول: إن مولى لعبد الله بن عمرو قال له: إني أريد أن أقيم هذا الشهر ههنا ببيت المقدس. فقال له: تركت لأهلك ما يقوتهم هذا الشهر؟ قال: لا. قال: فارجع إلى أهلك فاترك لهم ما يقوتهم، فإني سمعت رسول الله يقول: كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت). رواه أحمد والبيهقي وأصل الحديث رواه مسلم
“Dari Waheb bin Jaber, ia menuturkan: Sesungguhnya salah seorang budak milik Abdullah bin Amer pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku berencana untuk tinggal selama satu bulan ini di sini di Baitul Maqdis. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash bertanya kepadanya: Apakah engkau telah meninggalkan untuk keluargamu bekal yang dapat mereka makan selama satu bulan ini? Ia menjawb: Tidak. Abdullah bin Amer berkata kepadanya: Maka kembalilah ke keluargamu, lalu tinggalkan untuk mereka bekalnya, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Cukuplah sebagi dosa seseorang (yang akan mencelakakannya-pen) bila ia menyia-nyiakan orang-orang yang wajib ia nafkahi. (Ahmad, dan Al Baihaqy dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan kisah sebelumnya)
Sebaliknya syari’at Al Qur’an juga mewajibkan atas kaum istri untuk senantiasa taat kepada suaminya, selama mereka tidak memerintahkannya dengan kemaksiatan. Agar kita dapat sedikit mengetahui betapa besar perhatian Islam dalam memerintahkan kaum istri untuk mentaati suaminya, maka marilah kita bersama-sama merenungkan dua hadits berikut:
لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها. رواه أحمد والترمذي وابن ماجة
“Seandainya aku diizinkan untuk memerintahkan seseorang agar bersujud kepada orang lain, niscaya aku akanperintahkan kaum istri untuk bersujud kepada suaminya.” Riwayat Ahmad, At Tirmizy, dan Ibnu Majah.
Dan sabda beliau :
إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها وأطاعت زوجها قيل لها أدخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت. رواه أحمد وابن حبان وصححه الألباني
“Bila seorang wanita telahmenunaikan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhan, menjaga kesucian farjinya, dan mentaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya: Masuklah ke surga dari delapan pintu surga yang manapun yang engkau suka.” Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani.
Pada hadits ini Rasulullah memberikan suatu pelajaran penting kepada kaum istri agar hubungannya dengan suaminya bukan hanya di dasari oleh rasa cinta semata. Akan tetapi lebih dari itu semua, ketaatannya kepada suami adalah salah satu bagian dari ibadahnya, dan salah satu ibadah yang amat agung, sampai-sampai disejajarkan dengan sholat lima waktu, dan puasa bulan ramadhan. Sehingga dengan cara demikian, ketaatan dan kesetiaan kaum istri akan kekal hingga akhir hayatnya, dan tidak mudah luntur oleh berbagai badai yang menerba bahtera rumah tangganya.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum istri yang hanya mengandalkan rasa cintanya, ia akan mudah terhanyutkan oleh godaan dan badai kehidupan, sehingga tatkala ia menghadapi kesusahan atau godaan setan walau hanya sedikit, dengan mudah tergoyahkan. Dari sini kita dapat mengetahui alasan mengapa banyak kaum istri yang dengan mudah melawan suaminya, tidak taat kepadanya, dan bahkan berbuat serong dengan pria lain. Ini semua karena rasa cintanya telah luntur, atau mulai luntur oleh godaan ketampanan, atau jabatan atau harta dan yang serupa.
Dari lain sisi, syari’at Al Qur’an juga membentengi kaum suami agar dapat tetap istiqamah menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, yaitu dengan menjadikan segala tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga kesetiaannya dan kewajibannya tidak mudah luntur atau lengkang karena terpaan masa atau godaan hijaunya rumput tetangga atau kawan sejawat dll.
(إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس، وإنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك) متفق عليه
“Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Dan sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah yang engkau mengharap dengannya keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya, sampaipun suapan makanan yang egkau suapkan ke mulut istrimu.” Muttafaqun ‘alaih.
Dan lebih spesifik Rasulullah menjadikan hubungan sebadan dengan istri sebagai salah satu amal sholeh, sebagaimana beliau tegaskan dalam sabdanya berikut ini:
(وفي بضع أحدكم صدقة. قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر) رواه مسلم
“Dan hubungan sebadanmu dengan istrimu adalah shadaqah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya, kemudian ia dengannya mendapatkan pahala ? Beliau menjawab: bagaimana pendapat kalian, bila ia melampiaskan syahwatnya pada perbuatan yang haram, bukankah ia dengannya akan mendapatkan dosa? Demikian juga bila ia melampiaskannya pada tempat yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” Muslim.
Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa perbuatan mubah akan menjadi amal ketaatan karena niat yang tulus. Hubungan sebadan akan menjadi ibadah bila pelakunya meniatkkan dengannya untuk memenuhi kebutuhan istri atau menggaulinya dengan cara-cara yang baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, atau untuk mencari keturunan yang sholeh atau untuk menjaga dirinya atau menjaga istrinya atau keduanya dari memandang kepada yang diharamkan atau memikirkannya atau menginginkannya atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.” (Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/92).