Merajut Ukhuwah Islamiyyah


Merajut Ukhuwah Islamiyyah

Persatuan dan kesatuan ummat Islam adalah impian dan harapan setiap muslim. Dengan mewujudkan persatuan diantara ummat Islam maka kejayaan Islam dengan izin Allah dapat terwujud. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Al Hujurat 10)

Sebaliknya, dibalik setiap perpecahan dan perselisihan terdn apat kemunduran, kekalahan dan bahkan kehancuran.

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ الأنفال 46

“Dan Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berselisih, sehingga mengakibatkanmu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang bersabar.” Al Anfal 46.

Betapa indahnya ilustrasi yang dibuat oleh Rasulullah tentang persaudaraan ummat Islam berikut ini:

(مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى) رواه مسلم

Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan bahu-membahu sesama mereka, bagaikan satu tubuh, bila ada anggota tubuh itu yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya akan sama-sama merasakan susah tidur dan demam.” Riwayat Muslim.

Namun demikian, sebagai orang yang beriman terlebih berilmu tidak sepatutnya lalai bahwa setan juga tiada kenal lelah untuk mebarkan perangkapnya guna mencerai beraikan persatuan ummat Islam.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ {16} ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (Al A’raf 16-17)

Karena itu sepatutnya kita mengenali berbagai perangkap setan, agar kita dapat menghindarinya dan mengingatkan saudara-saudara kita darinya.

Antara Persatuan Dan Perbedaan Pendapat.

Persatuan adalah cita-cita setiap muslim, namun pada kenyataannya, sering kali persatuan dalam segala hal seakan mustahil untuk dapat diwujudkan. Perbedaan demi perbedaan terus saja bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Yang demikian itu dikarenakan perbedaan yang terjadi memiliki banyak sebab dan latar belakangnya. Dan sebagai konsekwensinya hukum perbedaan tersebut turut berbeda seiring dengan latar belakang perbedaan tersebut.

Namun demikian, perbedaan yang terjadi secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Imam Syafii rahimahullah berkata:

الاختلاف من وجهين أحدهما محرم، ولا أقول ذلك في الآخر.

قال: فما الاختلاف المحرم ؟

قلت : كل ما أقام الله به الحجة في كتابه أو على لسان نبيه منصوصا بينا لم يحل الاختلاف فيه لمن علمه.

وما كان من ذلك يحتمل التأويل ويُدْرَكُ قياسا فذهب المتأول أو القايس إلى معنى يحتمله الخبر أو القياس وإن خالفه فيه غيره لم أقل أنه يضيق الخلاف في المنصوص

Perbedaan ada dua macam: yang pertama perbedaan yang diharamkan, dan yang kedua tidaklah demikian (halal).

Ia bertanya: seperti apakah perbedaan yang diharamkan?

AKu menjawab: Setiap masalah yang telah Allah tegakkan dalil-dalilnya secara tegas (tekstual) dalam Kitabullah dan melalui lisan Nabi-Nya , maka bagi orang yang telah mengetahuinya tidak halal untuk berbeda pendapat.

Adapun masalah-masalah yang dalil-dalilnya memungkinkan untuk terjadi ta’wil, atau hukumhya dapat diketahui dengan berbekalkan dalil qiyas (analogi), lalu ada ulama’ yang mentakwilkan atau seorang ahli qiyas yang mengutarakan pendapat yang terakomodir oleh dalil atau qiyas (analogi) , walaupun menyelisihi pendapat ulama’ lainnya, maka menurutku perbedaan ini tidaklah bermasalah. (Ar Risalah 560)

Kehidupan Imam Syafii dan berbagai fatwa dan karya beliau menjadi contoh nyata akan kedua jenis perbedaan ini. Karena itu berikut dua contoh nyata cari ucapan Imam Syafii yang mencontohkan perbedaan sikap dan fatwa beliau seiring dengan perbedaan kedua jenis perbedaan yang beliau sebutkan:

Contoh perbedaan tercela.

Imam Syafii bersikap tegas tentang gurunya sendiri, yaitu Imam Malik bin Anas yang mengingkari adanya hukum khiyar majlis bagi kedua orang yang bertransaksi jual beli. Beliau menanggapi sikap gurunya ini dengan cukup keras, dengan berkata:

لا أدري هل اتهم مالك نفسه أو نافعا ؟ وأعظم أن أقول عبد الله بن عمر

Aku tidak tahu, apakah Imam Malik menuduh dirinya sendiri (telah salah meriwayatkan hadits) atau mungkin pula menuduh gurunya yaitu Imam Nafi’? dan aku sungkan untuk mengatakan bahwa Imam Malik telah menuduh sahabat Abdullah bin Umar. (Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/7)

Diantara contoh perbedaan yang tercela ialah sikap menolak hadits karena alasan-alasan yang mengada-ada, sebagaimana disebutkan pada sabda Nabi berikut ini:

ألا هلْ عَسَى رجلٌ يَبْلُغُهُ الحديثُ عنِّي ، هو مُتَّكئُ على أرِيكَتِهِ ، فيقول : بيننا وبينكم كتابُ الله ، فما وجدنا فيه حلالاً استحللْناهُ ، وما وَجَدْنا فيه حرامًا حرَّمْنَاهُ ، وإن ما حرَّم رسولُ الله كما حَرَّمَ اللهُ

Ketahuilah, bahwa akan ada orang yang sampai kepadanya satu hadits dariku, di saat ia sedang duduk-duduk bersenderkan ke kursi malasnya. Ia menanggapi haditsku dengan berkata: “Di tengah-tengah kita terdapat Kitabullah, apapun yang dinyatakan halal padanya maka kita yakini kehalalannya. Dan apapun yang dinyatakan haram padanya, maka kita yakini keharamannya.” Ketahuilah, bahwa apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama hukumnya dengan yang diharamkan oleh Allah. (At Tirmizy, An Nasai dan lainnya)

Contoh perbedaan terpuji (mubah).

Imam Bukhary dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi bersabda kepada para sahabatnya:

( لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة )

Janganlah ada dari kalian seorangpun yang mendirikan sholat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.

Para sahabat segera bangkit menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Namun ketika waktu shalat Ashar tiba, mereka baru sampai di tengah perjalanan. Menyikapi kondisi ini, sebagian sahabat berkata:

لا نصلي حتى نأتيها

Kita tidak akan mendirikan shalat Ashar kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraidhah. Sedangkan sebagian sahabat lainnya berkata:

بل نصلي، لم يرد منا ذلك

Kita tetap mendirikan shalat pada waktunya, karena sabda beliau tidaklah dapat dipahami secara tekstual (maksudnya: agar kita bersegera tanpa menunda sedikitpun dan dengan alasan apapun).

Ketika perbedaan pemahaman dan amalan antara para sahabat ini disampaikan kepada Rasulullah , ternyata beliau tidak menyalahkan keduanya.

Praktek ulama’ Islam sejak zaman dahulu adalah teladan paling tepat untuk kita teladani saat ini. Betapa tidak, berkat kedewasaan sikap mereka dalam menghadapi permasalahan-permasalahan khilafiyah diantara mereka, persatuan ummat Islam berhasil mereka pertahankan.

Abdurrahman bin Yazid mengisahkan: Khalifah Utsman bin Affan mendirikan shalat di Mina empat rakaat (tanpa diqashar). Mengetahui hal ini, sahabat Abdullah bin Mas’ud segera mengingatkannya dengan berkata: Dahulu aku mendirikan shalat di Mina bersama Nabi , Abi Bakar, Umar dua rakaat-dua rakaat (tanpa diqashar). Dan bahkan pada awal khilafah Utsman beliau juga mendirikan shalat dua rakaat-dua rakaat (diqashar). Namun kini, beliau berubah sikap dan mendirikan shalat empat rakaat-empat rakaat (tanpa diqashar).

Walau demikian, tatkala tiba waktu shalat, sahabat Abdullah bin Mas’ud tetap mendirikan shalat berjamaah di belakang sahabat Utsman empat rakaat-empat rakat tanpa diqashar.

Tak ayal lagi, sikap beliau ini mengherankan sebagian sahabatnya, sehingga mereka bertanya: Engkau mengkritisi Khalifah Utsman, namun demikian engkau tetap saja shalat di belakangnya empat rakaat-empat rakat tanpa diqashar?

Sahabat Abdullah bin Mas’ud menjelaskan sikapnya ini dengan berkata: Perselisihan itu buruk. (Abdurrazzaq, Abu Dawud dan lainnya).

Keteladanan sikap ini terus diwarisi oleh kaum muslimin di sepanjang masa, sehingga mereka saling berguru menimba ilmu dari sebagian yang lain. Sebagaimana mereka juga saling memaklumi perbedaan yang ada diantara mereka, sehingga dengan tanpa sungkan mereka berjamaah sholat di belakang sebagian yang lain.

Imam Ibnu Taimiyyah menceritakan bahwa dahulu Imam Abu Hanifah, beserta murid-muridnya, Imam As Syafii dan juga lainnya biasa mendirikan shalat berjamaah di belakang imam-imam Masjid Madinah (Masjid Nabawi) yang bermazhabkan Malikiyah. Padahal para imam tersebut nyata-nyata tidak membaca basmalah, secara lirih ataupun keras.

Imam Abu Hanifah juga pernah mendirikan shalat di belakang Harun Ar Rasyid padahal beliau baru saja berbekam tanpa berwudhu terlebih dahulu, karena beliau mengikuti fatwa Imam Malik. Walaupun mengetahui hal itu, Imam Abu Hanifah tetap saja shalat berjamaah di belakang Harun Ar Rasyid dan tidak mengulang sholatnya.

Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa berbekam dan mimisan membatalkan wudlu, Namun demikian, ketika ditanya tentang seorang imam yang mengeluarkan darah dan tidak berwudlu, apakah ia akan shalat dibelakangnya? Beliau menjawab:

كَيْفَ لَا أُصَلِّي خَلْفَ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَمَالِكٍ .

Mana mungkin aku tidak shalat di belakang Imam Said bin Musayyib dan juga Imam Malik? (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/375)

Mengenal Perbedaan Tercela.

Ada dua indikasi yang dengan keduanya kita dapat mengenali perbedaan tercela:

  1. Mengikuti Hawa Nafsu.

Menuruti hawa nafsu atau dapat juga disebut dengan kepuasan pribadi tanpa mengindahkan syari’at Allah Azza wa Jalla adalah biang terbesar terjadinya perpecahan. Betapa tidak, setiap manusia pastilah memiliki selera dan kepuasan pribadi yang berbeda-beda. Andai setiap muslim mengedepankan apalagi memaksakan nafsu dan kepuasan pribadinya, niscaya terjadi kekacauan dan perpecahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ المؤمنون 71

Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Al Mukminun 71)

Pada ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ  القصص 50

Dan mereka tidak menerima (ajakanmu) maka ketahuilah bahwa sejatinya mereka itu hanyalah menuruti hawa nafsu mereka. Dan adakah orang yang lebih sesat dari orang yang menuruti hawa nafsunya tanpa dasar ilmu dari Alah. Sesungguhnhya Allah itu tidaklah menunjuki orang-orang yang berbuat lalim.” (Al Qashash 50)

Ada satu kisah unik yang sepatutnya menjadi pelajaran bagi setiap muslim dalam beragama dan bermasyarakat. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Ubaid bin Fairuz bertanya kepada sahabat Al Bara’ bin Azib perihal pantangan yang harus dihindari pada hewan kurban.

Mendapat pertanyaan ini, sahabat Al Bara’ segera bercerita: Pada suatu hari Rasulullah  berdiri menjelaskan hal ini kepada kami, dan bersabda:

أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِى الأَضَاحِى الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِى لاَ تُنْقِي

Empat hal tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah yang nampak jelas kebutaan matanya, hewan sakit yang nampak jelas sakitnya, pincang yang nampak jelas kepincangannya, dan hewan kurus yang tulangnya tidak bersungsum.

Seakan ingin mengetahui lebih jauh, Ubaid bin Fairuz bertanya kembali: Aku tidak suka bila gigi hewan kurbanku ada yang kurang (tanggal).

Menanggapi pertanyaan ini sahabat Al Bara’ berkata: Apapun yang tidak engkau suka, silahkan engkau tinggalkan, namun jangan pernah engkau haramkan atas orang lain. (Abu Dawud dan lainnya)

Sebagai aplikasinya, setiap muslim, hendaknya senantiasa mengedepankan kebenaran dibanding yang lainnya. Kebenaran lebih berharga baginya disbanding segala kepentingan lainnya. Acap kali terbukti ucapan atau amalannya menyelisihi kebenaran, maka segera ia bertaubat dan mengamalkan kebenaran yang terbukti baginya. Demikianlah tuntunan dan teladan Nabi Muhammad , sebagaimana ditegaskan pada hadits berikut:

)كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ فَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ(

Setiap anak keturunan Adam pastilah banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik pelaku kesalahan ialah yang banyak bertaubat.” (Ahmad dan lainnya)

Tuntunan Nabi ini dapat kita rasakan dengan nyata pada kehidupan Imam Syafii rahimahullah, karena itu beliau sering kali berpesan kepada murid-muridnya dengan berkata:

كلما قلت وكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي صلى الله عليه و سلم أولى ولا تقلدوني

Setiap kali aku berpendapat, sedangkan telah tetap dari Nabi  satu syari’at yang menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi  lebih pantas diamalkan, dan janganlah kalian mengikutiku.

Pada lain kesempatan beliau juga berkata:

متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا فلم آخذ به فأشهدكم والجماعة أن عقلي قد ذهب

Kapan saja aku meriwayatkan satu hadits shahih dari Rasulullah , namun ternyata aku tidak mengamalkannya, maka aku persaksikan kepada kalian semua bahwa itu bukti bahwa akalku telah hilang. (Ma’na Qaul Al Imam Al Muthalliby “Iza Shahha Al Hadits Fahuwa Mazhaby, oleh Imam Taqiyyuddin As Subky)

Imam Syafii begitu peduli untuk menanamkan sikap bijak ini, karena beliau sepenuhnya mengetahui dan menyadari bahwa tidak seorangpun yang menguasai semua ilmu yang diwariskan oleh Nabi . Setinggi apapun keilmuan seseorang, pastilah ada yang terluput darinya, sebagaimana beliau tegaskan berikut ini:

لا نعلم رجلا جمع السنن فلم يذهب منها عليه شئ. فإذا جمع علم عامة أهل العلم بها أتى على السنن، وإذا فرق علم كل واحد منهم ذهب عليه الشئ منها، ثم كان ما ذهب عليه منها موجودا عند غيره. وهم في العلم طبقات، منهم الجامع لأكثره وإن ذهب عليه بعضه، ومنهم الجامع الاقل مما جمع غيره.

Aku tidak mengetahui ada seseorang yang berhasil menguasai seluruh hadits (sunnah Nabi 0 tanpa ada satupun yang terluput darinya. Namun bila ilmu semua ulama’ disatukan pastilah mencakup seluruh hadits Nabi . Sedangkan bila ilmu mereka dipisah-pisahkan niscaya ada saja yang terluput darinya walaupun yang terluput darinya pastilah dikuasai oleh ulama’ lainnya. Dan dalam hal keilmuan, mereka berada dalam berbagai tingkatan. Dari mereka ada yang berhasil menguasai kebanyakan hadits, walau dia luput dari sebagiannya . Dan dari mereka ada yang menguasai lebih sedikit dibanding yang dikuasai oleh selainnya. (Ar Risalah oleh Imam As Syafii 42-43)

Orang yang dengan sadar melakukan kesalahan, tentu ia berdosa, sedangkan yang tidak menyadari kesalahannya, maka dengan Izin Allah akan mendapat ampunan. Namun, bagaimanakah caranya anda dapat membedakan kapankah anda melakukan kesalahan dengan sadar dan kapankah anda melakukan kesalahan tanpa menyadarinya?

Simaklah penjelasan Imam Ibnul Qayyim tentang keduanya: 

Beliau berkata : Orang yang taqlid lagi fanatik mustahil rela meninggalkan pendapat orang yang ia ikuti ( gurunya) walau engkau telah mendatangkan seluruh ayat dalil kepadanya.

Sedangkan orang yang mengamalkan dalil, maka ia tidak sudi mengikuti selainnya. Tiada pedoman hidup baginya selain dalil.  Masing masing dari keduanya pastilah memiliki sumber ilmu atau rujukan dan jalan hidup yang tidak mungkin ia langgar.  Dan sungguh dapat ditoleransi/dimaklumi bila anda beramal sesuai dengan batas kemampuan anda dan telah berusaha maksimal selaras dengan potensi diri anda (walau akhirnya luput mendapatkan kebenaran). ( Zaadul Maad 5/ 201)

  1. Berkata tanpa dasar ilmu

Para ulama’ sepakat bahwa sumber utama hukum dalam Islam adalah wahyu Allah Azza wa Jalla, yaitu Al Qur’an dan sabda nabi Muhammad . Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يِوحَى إِلَيَّ مِن رَّبِّي هَـذَا بَصَآئِرُ مِن رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al A’raf 203)

Sebagaimana para ulama’ juga telah sepakat bahwa tugas nabi Muhammad  adalah sebatas menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya, tanpa ada rekayasa sedikitpun darinya. Allah Azza wa jalla berfirman:

مَّا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ وَاللّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (Al Maidah 99)

Pada ayat lain Allah berfirman:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An Najem 3-4)

Dengan mengamalkan Al Qur’an selaras dengan teladan yang beliau ajarkan adalah satu-satunya jalan lurus yang dapat menghantarkan kita ke surga, sebagaimana Rasulullah  sabdakan:

)وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ، وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ(

Sungguh aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah, dan kalian pastilah ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kalian ucapkan kelak? “ (Muslim)

Karena itu telah menjadi ketetapan dan kesepakatan para ulama’ bahwa haram hukumnya bagi siapapun untuk berkata-kata dalam urusan agama tanpa dasar ilmu.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al Isra’ 36)

Imam Syafii berkata:

الواجب على العالمين أن لا يقولوا إلا من حيث علموا. وقد تكلم في العلم من لو أمسك عن بعض ما تكلم فيه منه لكان الامساك أولى به أقرب من السلامة له إن شاء الله

Wajib hukumnya atas semua orang untuk tidak berkata-kata kecuali dengan dasar ilmu. Dan sungguhlah ada sebagian orang yang berbicara tentang ilmu, namun andai mereka diam dan tidak berbicara niscaya itu lebih baik dan lebih selamat baginya, insya Allah. (Ar Risalah 41)

Lebih jauh Imam Syafii menjelaskan bahwa kebenaran hanya bernilai kebenaran bila anda mengatakan atau mengamalkannya setelah benar-benar mengusai ilmunya. Adapun faktor kebetulan yang tidak direncanakan atau disengaja, maka itu tidaklah ada nilainya.

ومن تكلف ما جهل وما لم تثبته معرفته كانت موافقته للصواب إن وافقه من حيث لا يعرفه غير محمودة والله اعلم وكان بخطئه غير معذور إذا ما نطق فيما لا يحيط علمه بالفرق بين الخطأ والصواب فيه

Barang siapa memaksakan diri dalam hal yang tidak ia kuasai ilmunya, maka kalaupun ia secara kebetulan (tidak disengaja) berhasil menyamai kebenaran, maka kesamaannya ini tidaklah terpuji. Dan wallahu a’alam kesalahannya tidak diampuni, karena ia telah menanggapi hal-hal yang ia tidak mampu membedakan antara yang salah dari yang benar. (Ar Risalah 53)

Persatuan Bukan Berarti Persamaan Dalam Segala Hal.

Ukhuwah yang terjalin diantara para sahabat sungguh indah, sehingga berbagai perbedaan yang terjadi diantara mereka tidak dapat mencemari persatuan mereka. Alla Ta’ala gambarkan ukhuwah di antara mereka dalam firman-Nya:

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ

Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya senantiasa bersikap tegas kepada orang-orang kafir, namun mereka saling sayang-menyayangi sesama mereka. (Al Fathu 29)

Persatuan dapat terwujud walau antara mereka terdapat perbedaan dalam banyak hal, karakter, umur, keilmuan, kesukuan dan lainnnya. Berbagai perbedaan yang adalah ketetapan ilahi sehingga tidak pantas untuk dibangga-banggakan lalu saling meremehkan. Perbedaan yang ada sepatutnya menjadi sumber kekuatan ummat karena saling melengkapi.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujurat 13)

Perbedaan amal, tingkat kesiapan dan lainnya tidak sepatutnya mengotak-ngotakkan ummat islam, karena mereka telah terikat dengan ikatan takwa dan iman. Idealnya, kesamaan iman atau hti ini lebih dominan sehingga dapat mengalahkan pengaruh segala bentuk perbedaan lahiriyah yang ada.

)الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ(

Arwah (jiwa) manusia pastilah berkelompok-kelompok, dan setiap jiwa yang memiliki kesamaan maka pastilah akan bersatu. Namun jiwa yang berbeda, pastilah saling berselisih.” Muttafaqun ‘alaih.

Perbedaan yang ada ditengah-tengah ummat Islam sepatutnya menjadi motifasi untuk berpikir cerdas dan berperilaku dewasa, sebagaimana dicontohkan oleh Imam Syafii berikut ini:

Imam Yunus As Shadafi mengisahkan:

ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة

AKu tidak pernah mendapatkan orang yang lebih cerdas dibanding Imam Syafii. Suatu hari aku berdiskusi dengannya tentang suatu masalah, lalu kami berpisah setelahnya. DI lain kesempatan ketika berjumpa denganku beliau segera menggandeng tanganku lalu berkata: Wahai Abu Musa! Tidakkah layak bagi kita untuk tetap menjalin tali persaudaraan, walaupun kita tidak sepakat dalam satu masalah? (Tarikh Madinah Dimasyqa oleh Ibnu ‘Asakir 51/302 & Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/16)

Islam Pemersatu Ummat.

Sejarah Islam telah menjadi saksi terjadinya persatuan dua kabilah yang saling bertikai dan berperang. Segala permusuhan, kebencian dan dendam pribadi sekejap padam berkat Islam yang menguasai jiwa Kabilah Aus dan Khazraj.

Peperangan dahsyat telah berkobar antara dua kabilah penghuni kota Madinah ini, namun demikian ketika mereka telah memeluk agama Islam, sekejap permusuhan tersebut bergantikan dengan kasih sayang dan persatuan. Allah Ta’ala berfirman :

Al Qur’an telah mengabadikan kisah persatuan antara kabilah Aus dan Khazraj ini dalam ayat berikut:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran 103)

Betapa urgennya bagi kita semua untuk menelaah fakta sejarah ini. Betapa tidak, Islam berhasil menyatukan dua kabilah yang saling membenci, bermusuhan dan berperang, . Namun kini Islam senantiasa kita jadikan alasan untuk mengobarkan kebencian dan permusuhan di tengah-tengah ummat Islam?

Mungkinkah Islam tidak lagi manjur untuk menyatukan ummatnya? Ataukah kebencian dan permusuhan yang terjadi di tengah-tengah ummat Islam saat ini jauh lebih besar dibanding yang pernah terjadi antara kaum Aus dan Khazraj? Atau mungkin juga hati kita saat ini yang lebih keras dibanding hati kaum Aus dan Khazraj?

Betapa urgennya ummat Islam, terlebih tokoh-tokohnya untuk merenungkan firman Allah Ta’ala berikut:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sejatinya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara”. (Al Hujurat 10)

Kiat Memupuk Subur Persatuan.

Begitu pentingnya persatuan ummat, sehingga Nabi mengajarkan banyak kiat untuk menjaga dan memupuk subur persatuan diantara ummatnya. Berikut beberapa kiat yang beliau ajarkan, yang sepatutkan kita galakkan:

  1. Sucikan Jiwa Kita Dari Penyakit Hasad, Dengki Dan Iri Kepada Sesama Muslim.

Diantara aspek utama yang dapat mewujudkan persatuan ummat islam ialah kesucian jiwa setiap muslim dari penyakit hasad, iri, dengki dan kebencian kepada sesama muslim. Karena itu, sudah sepantasnya kita semua membiasakan diri, mengilhami lalu mengamalkan kandungan doa orang-orang yang benar-benar beriman berikut ini:

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al Hasyer 10).

  1. Menghormati Hak-hak Sesama Muslim

Diantara kiat untuk mengokohkan persatuan sesama ummat Islam ialah dengan menebarkan kesadaran akan harga diri, dan hak-hak sesama muslim. Dengan demikian tidak ada seorangpun yang dengan sengaja merampas, atau menodai hak-hak saudaranya, sebagaimana Rasulullah pesankan pada hadits berikut:

Rasulullah bersabda:

)كُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ(

Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Setiap muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak pantas baginya untuk menzhalimi, mencelakakan dan merendahkan saudaranya. (Muslim)

Pada hadits lain beliau juga bersabda:

)بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ(

Cukuplah sebagai satu dosa yang dapat membinasakannya bagai seorang muslim bila ia meremehkan saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram untuk dilanggar oleh saudaranya sesama muslim. (Muslim)

Idialnya setiap muslim menyadari kewajiban dirinya untuk menghargai dan menunaikan hak-hak saudaranya sesama muslim:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ، قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ .

Hak setiap muslim atas muslim lainnya ada enam. Sebagian sahabat bertanya: Wahai Rasulullah , Apakah keenam hal tersebut? Beliau menjawab: Bila engkau berjumpa dengannya, maka ucapkanlah salam kepadanya, bila ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila ia meminta nasehat kepadamu, maka nasehatilah dia, bila ia bersin dan mengucapkan hamdallah maka doakanlah dia, bila ia sakit, maka jenguklah dia, dan bila ia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya. (Muttafaqun ‘alaih)

  1. Tebarkan Salam.

Menebarkan ucapan salam adalah salah satu indikasi adanya kasih sayang diantara kita, karena mengandung doa kebaikan yang tulus bagi saudara kita. Rasulullah bersabda:

)لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ(

Kalian tidak dapat masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidaklah beriman hingga saling cinta mencintai. Sudikah kalian aku tunjukkan satu hal yang bila kalian lakukan, niscaya kalian saling mencintai: tebarkanlah salam diantara kalian.” (Muslim)

Imam An Nawawi berkata: Ucapan salam adalah langkah pertama mewujudkan persatuan dan kunci untuk mewujudkan kasih sayang. Dan dengan menebarkaannnya, maka persatuan antara kaum muslimin menjadi kokoh.

Menebarkan ucapan salam maka kita menampakkan simbul-simbul keislaman (syiar islam) yang membedakan masyarakkat Islam dari masyarakat lainnya. Sebagaimana dengan mengucapkan salam berarti kita melatih diri kita untuk bersikap rendah diri (tawadhu’) dan menghargai kehormatan saudara kita sesama ummat Islam. “ (Syarah Shahih Muslim 2/36)

  1. Kobarkan Semangat Solidaritas Antar Sesama Muslim.

Diantara kiat manjur memupuk subur persaudaran di tengah-tengah ummat Islam ialah dengan menggalakkan solidaritas sesama muslim. Dengan demikian, setiap muslim dapat menyadari bahwa dirinya senantiasa membutuhkan kepada kehadiran saudaranya. Di saat ia berduka, atau di saat ia senang, di saat ia benar ataupun di saat ia terjerumus dalam kesalahan. Rasulullah bersabda:

( انصر أخاك ظالما أو مظلوما ) فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره ؟ قال ( تحجزه أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره )

Tolonglah saudaramu di saat ia berbuat kezholiman ataupun di saat ia sedang ditimpa kezhaliman. Spontan seorang sahabat bertanya: Wahai Rasulullah , aku menolongnya di saat ia ditimpa kezholiman, namun di saat ia berbuat kezholiman, bagaimana mungkin aku harus menolongnya? Rasulullah menjawab: Engkau menghalanginya dari perbuatan zholimnya, itulah bentuk pertolongan kepadanya. (Bukhary)

Soladiratis bukanlah cinta buta, namun solidaritas yang benar ialah komitmen bersama untuk senantiasa menegakkan nilai-nilai syari’at di setiap waktu dan keadaan. Bahu membahu dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran dan menghilangkan kemungkaran. Demikianlah dahulu pesan Rasulullah kepada kedua utusan beliau, yaitu sahabat Mu’az bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ary:

يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلاَ تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا

Mudahkanlah, danjangan menyusahkan. Sampaikan kabar gembiran dan jangan jadikan orang lain menjauh dari Islam. Bahu membahulah kalian dan jangan berselisih. (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan inilah, persatuan dan kejayaan berhasil diwujudkan oleh generasi terdahulu ummat Islam.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran 110)

Solidaritas bukan hanya diwujudkan dalam bentuk menyadari arti dari kehadiran sesama muslim. Bahkan solidaritas yang dilandasi oleh iman ini terus berlanjut, hingga seluruh ummat Islam bersatu bak satu tubuh atau bangunan.

)فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ(

Barang siapa mengharap dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke surga, hendaknya ketika ajal menjemputnya, ia dengan teguh menetapi imannya kepada Allah dan hari Akhir dan perlakukanlah orang lain dengan cara-cara yang baik sebagaimana yang ia harapkan mereka memperlakukan dirinya. (Muslim)

  1. Budayakan Lemah Lembut.

Sikap lemah lembut dalam mengajarkan, mengamalkan syari’at Islam dan juga pergaulan adalah salah satu kunci sukses dakwah Nabi .

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imran 159)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Andai engkau bertutur kata kasar, dan berhati keras terhadap ummatmu, niscaya mereka menjauh darimu dan meninggalkanmu. Namun Allah menyatukan mereka bersamamu dan Allah menjadikanmu berperilaku lemah lembut sehingga engkau berhasil menarik simpati mereka. “ (Tafsir ibnu Katsir 2/148)

Lemah lembut dalam Islam bukan hanya dianjurkan kepada sesama muslim, bahkan sampaipun kepada non muslim asalkan ia tidak memusuhi Islam maka lemah lembut sangatlah dianjurkan.

Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan: “Dahulu orang-orang Yahudi bila mengucapkan salam kepada Nabi  sering kali berkata :

السَّامُ عَلَيْكَ

Semoga engkau binasa.” Mendapat ucapan salam aneh ini, Rasulullah  Menjawabnya dengan berkata:

وَعَلَيْكُمْ

Semoga kalian juga mendapatkan yang serupa.”

Berbeda dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau tidak kuasa menahan amarahnya, sehingga segera membalas ucapan salam mereka dengan berkata:

السَّامُ عَلَيْكُمْ ، وَلَعَنَكُمُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْكُمْ

Semoga engkau semua binasa, dilaknati dan dimurkai oleh Allah ”. Mengetahui istri tercinta hanyut dalam emosi, Rasulullah  berusaha menenangkan dan meluruskan sikap ‘Aisyah. Beliau bersabda:

مَهْلاً يَا عَائِشَةُ ، عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ، وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ أَوِ الْفُحْشَ

Tenanglah wahai ‘Aisyah! Hendaknya engkau bersikap lemah-lembut, dan hindarilah sikap keras dan kata-kata keji.”. Mendapat teguran ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Wahai Nabi Allah, tidakkah engkau mendengar ucapan salam mereka?” Rasululah menjawab:

أَوَلَمْ تَسْمَعِى مَا قُلْتُ رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ ، فَيُسْتَجَابُ لِى فِيهِمْ، وَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِىَّ

Tidakkah engkau mendengar jawabanku kepada mereka. Doaku atas mereka pasti dikabulkan oleh Allah sedangkan doa mereka atasku tidak mungkin dikabulkan oleh Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)

  1. Jauhi Slogan Dan Atribut Selain Islam.

Diantara hal yang dapat merusak persatuan ummat Islam ialah adanya sikap fanatik kepada sebutan atau atribut yang sempit, karena terbatas oleh wilayah teristorial atau waktu atau lainnya. Sepatutnya ummat Islam mengobarkan semangat persatuan di bawah bendera Islam yang mencakup seluruh ummat Islam.

Perbedaan ras, suku, golongan atau lainnya sudah sepatutnya dikesampingkan demi terwujudnya persatuan yang menyejukkan yaitu persatuan dibawah bendera Islam.

Dikisahkan suatu hari ada seorang budak Muhajirin menendang pantat budak kaum Anshar. Spontan budak kaum Anshar tersebut berteriak meminta bantuan kepada kaum Anshar, dengan berkata:

يا للأنصار

Wahai kaum Anshar!

Mendengar teriakan tersebut, budak kaum Muhajirin segera berteriak meminta tolong kepada kaum Muhajirin dengan berkata:

يا للمهاجرين

Wahai kaum Muhajirin!

Mendengar seruan-seruan di atas, Rasulullah bersabda:

مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Mengapa ada seruan-seruan ala Jahiliyah? Segera para sahabat menjelaskan duduk permasalahan kepada beliau . Setelah mengetahui duduk permasalahannya, beliau bersabda:

دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

Tinggalkanlah seruan-seruan semacam ini, karena seruan semacam ini adalah busuk. (Muttafaqun ‘alaih)

Bila persatuan atas dasar sesama kaum Muhajirin atau Anshar dinyatakan sebagai persatuan ala jahiliah, tentu persatuan atas dasar lainnya lebih pantas untuk dilarang dan dianggap sebagai persatuan ala jahiliah.

Imam An Nawawi berkata: Nabi menamakan seruan ini sebagai seruan ala jahiliah, sebagai bukti bahwa beliau membenci seruan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Tradisi masyarakat jahiliah, menggalang dukungan kabilahnya dalam urusan dunia dan hal-hal terkait. Dahulu masyarakat jahiliah terbiasa menuntut haknya dengan pengaruh kekerabatan dan kabilah. Sedangkan Islam datang meruntuhkan kebiasaan buruk tersebut, dan mengajarkan agar persengketaan diselesaikan dengan jalur peradilan. Dengan demikian bila ada orang yang melanggar hak saudaranya, maka hakim akan menghukuminya selaras dengan tindak kezhalimannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam syari’at Islam.” (Syarah Imam An Nawawi 16/137)

Penutup.

Semoga tulisan singkat dan sederhana ini dapat menjadi kontribusi positif bagi terwujudnya persatuan ummat Islam di negri kita tercinta ini. Dan sepenunya saya menyadari bahwa kekurangan dan kesalahan pastilah ada, karena itu kritik dan saran sangat saya nanti-nantikan. Wallahu Ta’ala A’alam bisshawab.



Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *