Bijak Menyikapi Cemburu Buta (bag.2)


Bijak Menyikapi Cemburu Buta (bag.2)

 

  1. Badai Cemburu Tak Menyurutkan Cinta.

Berbagai dinamika dan pasang surut kehidupan berumah tangga, bisa saja menyurutkan hubungan cinta antara suami dan istri. Karena itu, betapa urgennya para suami meneladani sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami teladan. Dan sebaliknya betapa urgennya bagi kaum istri untuk meneladani kebesaran jiwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  yang segera mengakui kesalahan sikapnya dan tidak bersikukuh mempertahankan rasa cemburunya.

Bila kita kembali mencermati tiga kisah di atas, niscaya kita dapatkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha  adalah salah satu istri beliau yang sering hanyut dalam letupan emosi dan rasa cemburunya. Namun demikian, ternyata semua itu tidak menyurutkan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiallahu ‘anha  ?.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat Amer bin al-Ash radhiallahu ‘anhu yang baru saja masuk Islam untuk memimpin pasukan pada peperangan  Dzatus Salasil.

Kepercayaan Nabi shallallau ‘alaihi wasallam kepada sahabat Amer bin al-Ash radhiallahu ‘anhu ini memancing rasa bangga pada diri beliau. Kehormatan ini  menyebabkan beliau merasa memiliki kedudukan spesial di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Terlebih lagi diantara pasukan perang tersebut terdapat beberapa pembesar sahabat.

Untuk mengetahui kebenaran praduganya, maka sahabat Amer bin al-Ash radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ :« عَائِشَةُ ». قُلْتُ : مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ :« أَبُوهَا ». قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ :« عُمَرُ ». فَعَدَّ رِجَالاً وَقَالَ غَيْرُهُ: « ثُمَّ عُمَرُ »

“Duhai Rasulullah, siapakah orang yang paling anda cintai?.” Maka beliau menjawab,  “Aisyah.” Kembali sahabat Amer bertanya: “(Sesungguhnya yang saya maksud adalah) dari kaum lelaki.”  Maka beliau menjawab,  “Bapaknya ( yaitu sahabat Abu Bakar).” Mendengar jawaban ini, maka sahabat Amer merasa belum puas, sehingga ia bertanya kembali:  “Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah?.” Beliau menjawab, “Umar.” Sahabat Amer melanjutkan kisahnya dengan berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa orang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra)

Dengan pertanyaan tersebut sahabat Amer bin al-Ash akhirnya mengetahui nama nama sahabat yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana beliau juga mengetahui bahwa orang yang paling dicintai oleh Nabi ialah istri beliau sendiri yaitu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha .

Pada kisah ini, nampak dengan jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan bahwa istri beliau yaitu ‘Aisyah adalah wanita yang paling beliau cintai.

Bukan hanya di hadapan orang lain beliau mengungkapkan akan kecintaan beliau kepada istrinya ‘Aisyah. Bahkan sampaipun di hadapan istri beliau yaitu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  dan juga putri beliau yaitu Fathimah radhiallallah ‘anha, beliau tiada sungkan untuk mengutarakan kecintaan beliau yang mendalam kepada ‘Aisyah.

Suatu hari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Fatimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjumpai Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menyampaikan tuntutan mereka kepada beliau.

Mendapat kepercayaan ini, maka Fatimah radhaillah ‘anha segera menemui ayahnya yaitu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu sedang berada di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha . Segara Fatimah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah ‘Aisyah.

Mengetahui kedatangan putri beliau tercinta, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan purinya untuk masuk. Setelah masuk, segera fatimah mengutarakan maksud kedatangannya dengan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَكَ أَرْسَلْنَنِى إِلَيْكَ يَسْأَلْنَكَ الْعَدْلَ فِى ابْنَةِ أَبِى قُحَافَةَ

Wahai Rasulullah! Sesunguhnya istri istrimu yang lain mengutusku untuk menemuimu. Mereka semua menuntut agar engkau bersikap adil yaitu dengan mencintai mereka seperti cintamu kepada (‘Aisyah) putri Abu Quhafah.

‘Aisyah yang kala itu sedang berada dalam satu selimut bersama Nabi yang sedang berselimut bersama ‘Aisyah tetap diam, tanpa berkomentar sedikitpun

Adapun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau segera menanggapi pesan yang disampaikan oleh putrinya ini, dengan bersabda:

( أَىْ بُنَيَّةُ أَلَسْتِ تُحِبِّينَ مَا أُحِبُّ )

ًWahai putriku! Bukankah engkau mencintai segala hal yang aku cintai? Tanpa sedikit keaguanpun Fatimah menjawab pertayaan ayahnya dengan berkata:

بَلَى.

“Tentu saja”. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali ucapan Fatimah dengan bersabda:

(فَأَحِبِّى هَذِهِ )

Bila demikian, maka cintailah wanita ini (‘Aisyah). (HR Muslim)

Dari riwayat di atas, kita dapat ambil kesimpulan bahwa kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah tidak surut hanya karena berbagai kejadian di atas. Bahkan pada riwayat lain, cinta dan kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  seakan tiada pernah surut hingga akhir hayat beliau.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha  mengisahkan: Sungguh pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit parah, beliau sering mengakatan:

( أَيْنَ أَنَا الْيَوْمَ أَيْنَ أَنَا غَدًا  )

Di rumah siapakah aku hari ini? Dan di rumah siapakah aku besok hari? Beliau mengatakan demikian, seakan beliau tidak sabar ingin segera sampai pada giliran ‘Aisyah. Hingga pada hari beliau berada di rumahku, Allah mewafatkannya di saat beliau sedang berada di pangkuan dan dekapanku sebagaimana beliau juga dikuburkan di rumahku. (HR Bukhary)

 

Fakta rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini membuktikan bahwa rumah tangga yang paling harmonispun ternyata tidak luput dari prahara, tidak luput dari dinamika kecemburuan.

 

  1. Dewasa Dalam Menyikapi Rasa Cemburu.

Berbagai kejadian dalam rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuktikan bahwa beliau dan juga keluarganya adalah manusia biasa yang pasti melalui berbagai demikianlah kehidupan.

Semua itu terjadi agar beliau benar-benar dapat menjadi suri teladan bagi ummatnya dalam segala kondisi dan kejadian. Dengan demikian tiada alasan sedikitpun bagi siapapun untuk mencari keteladan dari selain beliau. Tiada alasan bagi siapapun untuk berkata  bahwa: saya adalah manusia biasa yang berbeda dengan Nabi yang kehidupannya tanpa prahara dan dinamika. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ

Katakan (Wahai Muhammad) sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku. (Al Kahfi 110)

Fakta rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini meberi pelajaran kepada kita agar membuang jauh jauh impian rumah tangga yang harmonis seiya dan sekata tanpa prahara. Impian semacam ini sejatinya adalah bentuk dari perlawanan terhadap kodrat ilahi.

Diantara kiat efetif untuk merajut keharmonisan dalam rumah tangga ialah dengan menumbuhkan dan mengasah kedewasaan dalam menyikapi setiap dinamika kehidupan rumah tangga. Di saat bahagia tidak hanyut dalam kebahagian dan di saat susah juga tidak hanyut dalam duka dan kekecewaan. Masing-masing dari dari suami dan istri sudah sepatutnya memupuk kedewasaan sikap dalam setiap dinamika kehidupan rumah tangganya .

Untuk lebih mendalami bagaimana kedewasaan sikap dalam hidup berumah tangga, maka saya akan mengetengahkan kisah lain dari dinamikan kehidupan rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Besar harapannya kisah berikut  dapat menjadi petunjuk bagi kita semua dalam menyikapi berbagai permasalahan yang ada dalam rumah tangga kita.

Aisyah radhiallahu ‘anha  bercerita, “Saya pernah menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’. Kala itu beliau juga membawa serta istri-istri beliau yang lain (diantaranya Shafiyyah binti Huyaiy). Kebetulan perbekalanku ketika itu sedikit sedangkan unta tungganganku kuat dan cepat. Adapun perbekalan Shafiyyah berat, namun unta tunggangannya lambat, sehingga perjalanan kami tersendat-sendat disebabkan unta tersebut.

Untuk mengatasi keterlambatan ini, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Letakkanlah perbekalan Aisyah di atas  unta Shafiyyah, sedangkan perbekalan Shafiyyah di atas onta Aisyah agar perjalanan menjadi lancar.”

Tanpa ragu sedikitpun, para sahabat segera  menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berbeda dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha , ia tidak kuasa menahan rasa cemburunya. Dengan lantang ia berteriak: “Wahai hamba Allah tolong, aku dikalahkan oleh perempuan Yahudi ini.”

Mendengar teriakan istri beliau ‘Aisyah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berusaha memberikan penjelasan dengan bersabda, “Wahai Ummu Abdillah, sesungguhnya perbekalanmu itu ringan, sedangkan perbekalan Shafiyyah itu berat, sehingga perjalanan menjadi terhambat. Karenanya kami memindahkan perbekalanmu ke atas tunggangan Shafiyah sedangkan perbekalan Shafiyah kami pindahkan ke atas tungganganmu.”

Mendapat penjelasan ini, rasa cemburu ‘Aisyah belum kunjung reda juga, ia kembali berkata, “Bukankah engkau mengaku sebagai utusan Allah?”.

Rasulullah tersenyum mendengar jawaban Aisyah, lalu beliau bersabda:  “Adakah keraguan akan hal tersebut wahai Ummu Abdillah?.”

‘Aisyah menjawab:  “Bukankah engkau mengaku sebagai utusan Allah, kenapa engkau tidak berlaku adil?.”

Belum sempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab menanggapi  ucapan ‘Aisyah, mereka dikejutkan oleh kehadiran sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Karena mendengar ucapan putrinya seperti di atas, maka beliau marah dan segera memberi pelajaran kepada ‘Aisyah dengan menampar wajahnya.

Melhat istrinya dipukul oleh ayahnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan hendak mencairkan suasana dengan bersabda: “Beesikap lembutlah wahai Abu Bakar.”

Sahabat Abu Bakar menjawab: “Tidakkah engkau mendengar ucapan putriku ?.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

إِنَّ الْغَيْرَى لاَ تُبْصِرُ أَسْفَلَ الْوَادِي مِنْ أَعْلَاهُ ، إِنَّمَا التَّجَنِي فِي الْقَلْبِ

“Sesungguhnya wanita yang sedang dilanda rasa cemburu itu buta, sampai sampai tidak mampu membedakan antara  dasar lembah dari bagian atasnya , dan sesungguhnya kejahatan itu hanyalah dinilai sebagai kejahatan bila dilakukan dengan sadar.” (HR. Abu Syaikh al-Ashbahani, Abu Ya’la di dalam musnadnya, dan oleh Syaikh al-Albani dinyatakn sebagai hadits dhaif Silsilah adh-Dhaifah No. 2985).[1]  

Pada riwayat ini tergambar betapa arif Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan lihai mampu mencairkan suasana, sehingga kesalah pahaman tidak berkelanjutan hingga menjadi prahara. Tergambar dengan nyata, betapa beliau benar-benar memahami karakter dasar wanita. Sehingga beliau memahami bahwa seluruh ucapan Aisyah di atas semata-mata karena luapan rasa cemburunya. Sedangkan rasa cemburu adalah luapan rasa cinta yang sangat mendalam.

Bukan hanya memahami alasan, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha memberikan pembelaan kepada istrinya dari luapan amarah sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Pembelaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menyebabkan Aisyah melunak, dan semakin memahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar sosok suami yang luar biasa.

Hanya saja terungkap bahwa kecemburuan ‘Aisyah pada kisah ini lebih didominasi oleh emosi dan praduga buruk atau suuzhon dibanding luapan rasa cinta. Karena itu’ Abu Bakar radhiallahu ‘anhu murka, karena menyadari kesalahan sikap dan ucapan putrinya.

 

  1. Fitrah Wanita Tidak Ingin Diduakan

Banyak calon suami yang menguji sejauh mana keshalihan  wanita calon istrinya dengan menanyakan kesiapannya untuk dimadu atau dipoligami. Mereka beranggapan bahwa wanita sholihah pasti siap untuk dimadu, karena poligami diajarkan dalam syari’at, dan karena disyari’atkan maka harus siap mengamalkan.

Anggapan ini, tentu saja bertentangan dengan fitrah wanita. Setiap wanita pasti tidak ingin diduakan, fitrah wanita menginginkan agar dirinya menjadi satu-satunya permaisuri bagi suaminya.

Wanita yang mencintai suaminya, pastilah tidak ingin  ada wanita lain yang turut memiliki suaminya. Apalgi bila suaminya ialah suami yang sholeh dan keluarganya adalah keluarga yang harmonis. Kalaupun ada wanita yang rela bila suaminya menduakan dirinya, maka biasanya hal itu ia lakukan karena ada alasan yang kuat, sehingga menjadikannya mengalah dan mengubur dalam dalam perasaannya.

Kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersama istri beliau tercinta ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  dapat menjadi cermin bagi kita.

Aisyah radhiallahu ‘anha  menuturkan: “DI Hari yang padanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai jatuh sakit, beliau masuk ke rumahku. Mengetahui kehadirannya, aku berkata:

وَا رَأْسَاهْ

“Aduh sakitnya kepalaku.” Mendengar rintihanku, beliau menimpali dengan berkata:

وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَانَ وَأَنَا حَيٌّ فَهَيَّأْتُكِ وَدَفَنْتُكِ

“Saya berandai-andai: jika engkau meninggal dahulu sebelumku, maka aku akan mengurus jenazahmu dan menguburkanmu. Mendengar ucapan ini, ‘Aisyah berkata:

غَيْرَى كَأَنِّي بِكَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ عَرُوسًا بِبَعْضِ نِسَائِكَ

“Jika itu terjadi, aku menduga seusai engkau mengurus jenazahku, niscaya engkau segera menikah lagi dengan wanita lain .” (HR. Ahmad, dan oleh Syaikh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih   )

Cuplikan hadits diatas menggambarkan betapa besar kecemburuan Aisyah radhiallahu ‘anha , sampai-sampai ia merasa cemburu bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah lagi sepeninggal dirinya.

Sikap ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  ini dapat menjadi petunjuk bahwa  wanita  shalihah semisal ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  tidak rela untuk dimadu. Bila hal itu terjadi pada diri wanita seshalih ‘Aisyah radhiallahu ‘anha , maka sangat wajar bila terjad pada wanita lainnya.

Kesimpulan ini juga selaras dengan sikap istri nabi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yaitu Sarah alaihassalam. Sarah yang menyadari bahwa dirinya belum mampu memberikan anak keturunan kepada suaminya, maka ia merestui suaminya yaitu nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menikahi budak wanitanya, yaitu Hajar ‘alihaassalam.

Namun semuanya menjadi berubah, Sarah tidak kuasa menahan rasa cemburunya gara gara melihat Hajar ‘alaihassalam mulai hamil dan selanjutnya melahirkan seorang anak lelaki yang tampan yaitu nabi Ismail ‘alaihissalam.

Sebagian ahli sejarah mengisahkan bahwa kecemburuan Sarah yang mencapai puncaknya, menyebabkan ia bersumpah akan memotong tiga anggota tubuh Hajar. Dan sebagai solusinya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memerintahkan Sarah agar mengkhitan Hajar dan menindik (melubangi) kedua telinganya. (Al Bidayah wa An Nihayah oleh Imam Ibnu Katsir 1/177)

Berbagai kisah di atas, membuktikan bahwa rasa cemburu wanita adalah satu ketetapan yang tidak mungkin dihindari dan tidak layak untuk dimusuhi. Sebagaimana keshalehan seorang wanita tidak mungkin menghapuskan fitrah atau naluri mereka sebagai seorang wanita. Karena itu, tidaklah arif bila keshalihan seorang wanita diukur dari kesiapannya untuk dimadu atau dipoligami, karena fitrah seorang wanita adalah tidak ingin diduakan oleh suaminya.

 

  1. Kesimpulan.

Rasa cemburu adalah bagian dari implikasi adanya rasa cinta dan kesetiaan. Bahkan rasa cemburu menjadi pondasi bagi terciptanya keutuhan rumah tangga. Karena itu suami yang bertanggung jawab pastilah memiliki rasa cemburu sehingga ia akan melindungi istrinya. Sebagaimana rasa cemburu istri adalah motivasi kuat baginya untuk dapat melayani suaminya dengan seutuhnya.

Hanya saja, dari kajian terhadap beberapa riwayat dinamika kecemburuan dalam rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dapat disimpulkan bahwa pasangan suami dan  istri sepatutnya dewasa dalam menyikapinya. Keduanya sepatutnya secara sadar menumbuhkan kedewasaan dalam menyikapi berbagai implikasi rasa cemburu pasangannya. Diantaranya dengan senantiasa mengingat latar belakang munculnya rasa cemburu yang merupakan luapan rasa cinta dan kesetiaan. Dengan demikian, berbagai implikasi rasa cemburu dapat disikapi secara proporsional dan tepat, sehingga tidak mengancam keutuhan rumah tangga, bahkan semakin menjadikannya terasa indah.

Dan dari kajian di atas, terungkap bahwa ucapan “seiya dan sekata” sejatinya hanyalah mitos karena terbukti jauh dari kenyataan. Sebagaimana ungkapan “cekcok adalah bumbu rumah tangga” juga tidak sepenuhnya tepat. Cekcok yang berawal dari rasa cemburu buta apalagi buruk sangka dapat sangat berpotensi mengancam keutuhan rumah tangga. Karena itu sepatutnya pasangan suami dan istri dapat mawas diri dan mampu membedakan antara kecemburuan yang terukur dan beralasan dari cemburu buta yang hanya dilandasi oleh emosi semu dan praduga buruk semata. Wallahu A’alam Bisshawab.

[1]Riwayat tersebut disebutkan oleh narasumber sebagai permisalan




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *