Keberhasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkomunikasi sehingga dapat merubah persepsidan sikap Shafiyah radhiallahu ‘anha sepatutnya kita kaji untuk kemudian kita teladani.
Menurut pengamatan saya, paling sedikit ada dua kunci utama dari keberhasilan komunikasi beliau.
Kunci pertama: Kerendahan Hati dan Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada kisah di atas, nampak dengan jelas kerendahan hati dan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencerminkan akan luhurnya akhlak beliau. Sebagai pemimpin pasukan yang memenangkan peperangan beliau tidak membusungkan dada dan berkata kasar kepada Shafiyah bintu Huyai yang merupakan putri pemimpin pasukan musuh, yaitu Huyai bin Akhthab.
Walau beliau adalah pemimpin pasukan yang berhasil memenangkan peperangan, namun beliau tetap rendah hati dan bersikap santun. Bahkan biarpun peperangan baru saja selesai, namun tiada sedikitpun dendam atau permusuhan yang pada diri dan sikap Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam. Kesan ini terasa dengan jelas pada beberapa hal berikut:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rendah hati dan santun menjelaskan dengan terperinci seluruh alasan beliau angkat senjata berperang melawan pasukan Huyai bin Akhtab ayah Shafiyah. Hal ini Nampak dengan jelas pada penuturan Shafiyah berikut ini:
فما زال يعتذر إلي ويقول : ( إن أباك ألب علي العرب وفعل وفعل ) حتى ذهب ذلك من نفسي
“Beliau terus menerus tanpa lelah menjelaskan kepadaku alasan-alasannya berperang. Beliau berkata: “Sejatinya ayahmu menghasut orang-orang Arab agar memerangiku. Sebagaimana ayahmu juga telah berbuat ini dan itu.” Hingga akhirnya kebencian itu benar-benar sirna dari diriku.” ([1])
Tiada makian, hardikan atau kata kata yang mengesankan sikap kaku atau kebencian, yang ada adalah sebaliknya kesantunan dan kebaikan.
Sebagai saksi hidup, Shafiyah mengetahui seutuhnya bahwa selama ini ayahnya yaitu Huyai bin Akhthab berada pada pihak yang salah, dan selalu berusaha menggangu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berawal dari perkhianatan terhadap perjanjian untuk hidup bersandingan di kota Madinah, dilanjutkan dengan upaya memotovasi Quraisy, Bani Quraidhoh, Ghathafan, dan kabilah kabilah lain untuk memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua itu dilakukan oleh Huyai bin Akhthab, padahal ia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar-benar seorang nabi. Ahli sirah meriwayatkan pengakuan Shafiyah berikut ini:
Aku mendengar pamanku Abu Yasir yang berkata kepada ayahku Huyai bin Akhthab: benarkah dia itu orangnya (nabi)? Ayahku menjawab: Benar, sunguh demi Allah. Kembali Pamanku bertanya: Apakah engkau benar benar mengenali dan telah membuktikanya? Ayahku kembali menjawab: Benar. Sekali lagi pamanku bertanya: Lalu apa yang engkau rencanakan? Ayahku menjawab: aku akan memeranginya selama hayat masih dikandung badan.([2])
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan kepada Shafiyah. Dengan demikian Shafiyah tidak merasa sebagai orang yang terhina atau tertindas, bahkan sebaliknya merasa terhormat dan mulia. Shafiyah radhiallahu ‘anha berkata: Sore itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tenda tempat aku di tawan. Setibanya di tendaku, beliau segera memanggil namaku. Dengan tertunduk malu aku memenuhi panggilanya dengan segera duduk di hadapan beliau. Selanjutnya beliau menawarkan dua pilihan kepadaku:
إن أقمت على دينك لم أكرهك وإن اخترت الإسلام واخترت الله ورسوله فهو خير لك
Jikalau engkau tetap mempertahankan agamamu, maka aku tidak akan memaksamu. Namun bila engkau memilih untuk masuk islam, memilih Allah dan Rasulnya, maka itulah yang terbaik untukmu.
Shafiyah menjawab tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan berkata: Aku lebih memilih Allah, Rasul-Nya dan masuk Islam. Segera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan aku dan menikahiku dengan kemerdekaanku sebagai mas kawinnya.([3])
Kunci Kedua: Keuletan dan Kesabaran Dalam Berkomunikasi.
Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan komunikasi nampak dengan jelas. Dalam berkomunikasi Beliau benar-benar jauh dari emosi, amarah atau sikap tergesa gesa ingin menyelesaikan proses komunikasi dan memenangkannya . Kesabaran beliau tergambar denga jelas pada penuturan Shafiyah radhiallahu ‘anha berikut ini:
فما زال يعتذر إلي ويقول : ( إن أباك ألب علي العرب وفعل وفعل ) حتى ذهب ذلك من نفسي
“Beliau terus menerus tanpa lelah menjelaskan kepadaku alasan-alasannya berperang. Beliau berkata: “Sejatinya ayahmu menghasut orang-orang Arab agar memerangiku. Sebagaimana ayahmu juga telah berbuat ini dan itu.” Hingga akhirnya kebencian itu benar-benar sirna dari diriku.” ([4])
Sebagai pemenang dalam peperangan bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras dan tegas, sehingga komunikasi segera terselesaikan. Terlebih lagi sejatinya Shafiyah radhiallahu ‘anha telah mengetahui banyak hal yang dilakukan oleh ayah dan kaumnya kepada ummat Islam, hingga akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya.
Walau demikian, beliau shallallau ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal itu, dengan tabah dan lembut. Satu demi satu benang kusut yang menyelimuti sikap beliau benar benar luruskan hingga akhirnya Shafiyah dapat menerima keputusan Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam berperang melawan ayahnya.
Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkomunikasi ini dapat menjadi bukti nyata kebenaran sabdanya berikut ini:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Sejatinya kelembutan tidaklah ada pada suatu urusan melainkan urusan itu menjadi indah dan sebaliknya tidaklah kelembutan dicabut dari suatu urusan melainkan urusan itu menjadi buruk.([5])
Kunci Ketiga : Beliau memuliakan Shafiyah radhiallahu anha.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan Shafiah dengan menjadikanya sebagai tawanan dirinya. Padahal sebelumnya Shafiyah telah dimiliki oleh sahabat Dihyah Al Kalby. Dan diantara bentuk pemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Shafiyah tercermin dari jumlah tebusan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Dihyah Al Kalby radhiallallahu ‘anhu.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tujuh orang budak kepada sahabat Dihyah Al Kalby untuk menebus Shafiyah. Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tentu menjadikan Shafiyah merasa tersanjung. Shafiyah merasa bahwa ia lebih berharga dan mulia dibanding tujuh orang tawanan perang lainya.
Bukan hanya mendapat kesan lebih berharga dibanding tujuh orang dari karib-kerabatnya, namun Shafiyah semakin merasa tersanjung karena mengetahui keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahinya.
Keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat berarti bagi Shafiyah radhiallahu ‘anha, karena sesuai dengan pesan yang ia dapat dalam suatu mimpinya.
Dikisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan perihal wajah Shafiyah radhiallahu ‘anha yang berwarna biru karena lebam. Shafiyah menjawab: Suatu hari aku bercerita kepada suamimku bahwa aku bermimpi melihat bulan jatuh ke dalam pangkuanku. Mendengar kisahku ini, spontan suamiku marah dan memukulku seraya berkata: Apakah engkau menginginkan untuk menjadi istri penguasa negri Yatsrib (Madinah)?([6]) (Ibnu Hibban, At Thabrany dan Al Baihaqy)
Sikap Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam ini benar-benar membuahkan hasilnya. Shafiyah benar benar merasa tersanjung dan berubah sikap, dari membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jadi mencintainya. Apa yang dialami oleh Shafiyah ini seakan membuktikan kebenaran pepatah arab:
أحسن إلى الناس تستعبد قلوبهم . . . فطالما استعبد الإنسان إحسان
Berbuat baiklah kepada orang lain niscaya engkau dapat menggenggam hatinya
Betapa banyak orang yang terbelenggu oleh kebaikan orang lain.
Penutup:
Komunikasi yang dijalankan dengan cerdas terbukti secara efektif mampu mengurai permasalahan yang sangat berat dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Melalui komunikasi yang cerdas nan bijak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menyelesaikan berbagai problematika rumah tangganya. Shafiyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha yang sedianya membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat berubah sikap dan mencintai beliau setelah berkomunikasi dengan beliau. Dan tentunya keharmonisan dan kedamaian dalam hidup berumah tangga dapat terwujud.
[1] ( ) Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabiir, juz: 24, hal: 67, hadits no: 177, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz: 1, hal: 607, dan Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra, juz: 9, hal: 137.
[2] ( ) Ahmad bin Husain, Dalaa’il An Nubuwwah, juz: 2, hal : 533.
[3] ( ) Muhammad bin Umar, Maghazi Al Waqidy, juz : 2, hal: 675 & Ali Bin Al Hasan, Tarikh Madinatu Ad Dimasyqi, Juz; 3, hal: 222.
[4] ( ) Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, juz: 11/607, hadits no: 5199, Ahmad bin Husain , As Sunan Al Kubra, Kitab: As Sair Bab: Man Ra’a Qismata Al Aradhi Al Maghnumah Wa Man Lam Yaraaha, juz: 9/137. Menurut Ibnu Hajar, rentetan sanad riwayat ini semuanya tsiqah (memiliki kredibilitas tinggi). Fathul Baari, Juz: 7 hal: 479.
[5] ( ) Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim Bin Al hajjaj, Kitab: Al Birru wa As Shilah wa Al Adab, Bab; Fadhlu Ar Rifqu, juz: 8, hal: 22, hadits no: 6767
[6] ( ) Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabiir, juz: 24, hal: 67, hadits no: 177, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz: 1, hal: 607, dan Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra, As Sair Bab: Man Ra’a Qismata Al Aradhi Al Maghnumah Wa Man Lam Yaraaha, juz: 9, hal: 137.