Dengan Komunikasi Nabi ‘alaihissalaam Meraih Cinta .


Dengan Komunikasi Nabi ‘alaihissalaam Meraih Cinta .

Pendahuluan:

Keharmonisan adalah salah satu pondasi utama bagi kelangsungan hidup berumah tangga. Dengannya terwujudnya kaharmonisan, rumah tangga terasa indah, sehingga dari hari ke hari suami semakin merasakan rumah tangganya semakin indah, dan istrinya juga merasakan hal yang serupa. Bila keharmonisan telah terwujud, maka rumah tangga terasa indah seindah surga. Allah Ta’ala berfirman:

(َمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.(1)

Wajar bila setiap insan mendambakan terwujudnya keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun demikian, betapa banyak rumah tangga yang gagal mewujudkannya? Rumah tangga mereka lebih sering dihiasi oleh percecokan yang menjadikannya terasa gersang.

Fakta ini membuktikan bahwa sekedar menginginkan atau mencita-citakan keluarga yang harmonis tidaklah cukup. Akan tetapi keharmonisan berumah tangga haruslah diupayakan dengan sungguh sungguh oleh setiap pasangan suami dan istri.

Berbicara tentang keharmonisan rumah tangga, maka sudah barang tentu rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rumah tangga yang paling harmonis, sebagaimana tergambar pada pengakuan beliau berikut ini:

)خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي(

Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik dalam bergaul dengan keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik pergaulannya dengan keluargaku. (2)

Karena itu betapa pentingnya bagi kita untuk mempelajari kiat-kiat yang beliau lakukan dalam mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangganya. Rumah tangga beliau senantiasa harmonis, walaupun berbagai dinamika kehidupan semisal rasa cemburu, dan perselisihan pendapat juga terjadi dalam rumah tangganya. Namun demikian, semua itu, tidak dapat mengurangi apalagi merusak keharmonisan rumah tangganya.

Dalam berbagai referensi hadits dan sirah, banyak dikisahkan perihal kiat-kiat beliau dalam membangun rumah tangganya sehingga senantiasa harmonis. Dan diantara kiat yang beliau jalani dalam membangun rumah tangganya sehingga senantiasa harmonis ialah dengan berkomunikasi secara baik dan santun.

(وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا) الإسراء 32

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan hamba dan rasul-Nya ‘alaihissalam untuk memerintahkan hamba-hamba Allah yang beriman agar berkomunikasi dan berdiskusi dengan tutur kata yang terbaik dan memilih kata-kata yang baik pula. Karena bila mereka tidak mengindahkan perintah ini, niscaya setan dengan mudah mengadu-domba mereka. Akibatnya, yang bermula dari ucapan berlanjut menjadi tindakan, dan terjadilah pertikaian, sengketa dan peperangan.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/59)

Melalui komunikasi yang baik, beliau dapat menyampaikan pesannya dengan cepat dan berbagai permasalahan rumah tangga dapat diselesaikan. Bahkan dengan komunikasi beliau yang baik kebencian dapat berbalik menjadi cinta dan kesetiaan.

Kondisi ini membuktikan kebenaran sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

( إن من البيان لسحرا أو إن بعض البيان لسحر )

Sesungguhnya sebagian penjelasan (tutur kata) itu sungguhlah dapat menimbulkan efek bak efek ilmu sihir”. (3)

Pada kesempatan ini saya mengajak pembaca untuk menyelami lautan hikmah dari kisah komunikasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Shafiyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha sebagai data utama penelitiannya.

Kisah Komunikasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Shafiyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha.

Seusai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menundukkan Yahudi Khaibar, beliau memilih Shafiyah bintu Huyai sebagai tawanan perangnya. Pada peperangan ini, ayah Shafiyah yaitu Huyai bin Akhthab, suaminya yaitu Kinanah bin Ar Rabi’ bin Abi Al Huqaiq, saudara kandungnya dan juga karib kerabatnya yang lain terbunuh.

Kondisi ini tentu menyisakan duka pada diri Shafiyah yang sangat mendalam. Bukan hanya duka, namun juga kebencian yang sangat besar kepada kaum muslim terutama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pemimpin ummat Islam.

Belum lagi pengalaman pahit sebelumnya yang menimpa Shafiyah beserta kaumnya yaitu Kabilah Bani Nadhir ketika diusir dari kampung halamannya di koa Madinah,

Berbagai kejadian di atas, tentu menggoreskan kebencian pada diri Shafiyah radhiallahu ‘anha kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tergambar pada pengakuan Shafiyah radhiallahu ‘anha berikut ini:

انتهيت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وما أحد من الناس أكره إلي منه

Pertama kali aku dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku merasa bahwa tiada seorangpun di dunia ini yang lebih aku benci dibanding beliau.(4)

Pada riwayat lain Shafiyah radhiallahu ‘anha berkata:

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلممِنْ أَبْغَضِ النَّاسِ إِلَىَّ قَتَلَ زَوْجِى وَأَبِى وأخي

Pada awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling aku benci, karena ia telah membunuh suami, ayahku dan saudara kandungku.” (5)

Walau demikian, sikap Shafiyah radhialahu ‘anha ini tidak bertahan lama. Sekali berkomunikasi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya berubah. Kebencian yang sangat mendalam sekejap berubah menjadi cinta dan kasih sayang yang terus bersemi dan abadi. Semua itu berkat dari komunikasi indah yang ia jalani bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shafiyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha mengisahkan perubahan sikap dan perasaan beliau ini dengan berkata:

إن قومك صنعوا كذا وكذا ، فما قمت من مقعدي ذلك حتى ما كان أحد أحب إلي منه.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan sikapnya dengan berkata: sejatinya kaummu telah berbuat demikian dan demikian. Beliau terus menjelaskan alasan sikapnya hingga tuntas, sehinga tidaklah aku bangkit dari tempat dudukku hingga tiada seorangpun yang lebih aku cintai dibanding beliau. (6)

Kunci Keberhasilan Komunikasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Keberhasilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkmunikasi sehingga dapat merubah persepsidan sikap Shafiyah radhiallahu ‘anha sepatutnya kita kaji untuk kemudian kita teladani.

Menurut pengamatan saya, paling sedikit ada dua kunci utama dari keberhasilan komunikasi beliau.

Kunci pertama: Kerendahan Hati dan Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada kisah di atas, nampak dengan jelas kerendahan hati dan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencerminkan akan luhurnya akhlak beliau. Sebagai pemimpin pasukan yang memenangkan peperangan beliau tidak membusungkan dada dan berkata kasar kepada Shafiyah bintu Huyai yang merupakan putri pemimpin pasukan musuh, yaitu Huyai bin Akhthab.

Bahkan biarpun peperangan baru saja selesai, namun tiada sedikitpun kesan dendam atau permusuhan dari Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebaliknya, beliau menampakkan sikap santun dan tawadhu’, yang tercermin pada beberapa hal berikut:

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rendah hati dan santun menjelaskan dengan terperinci seluruh alasan beliau angkat senjata berperang melawan pasukan Huyai bin Akhtab ayah Shafiyah. Hal ini Nampak dengan jelas pada penuturan Shafiyah berikut ini:

فما زال يعتذر إلي ويقول : ( إن أباك ألب علي العرب وفعل وفعل ) حتى ذهب ذلك من نفسي

Beliau terus menerus tanpa lelah menjelaskan kepadaku alasan-alasannya berperang. Beliau berkata: “Sejatinya ayahmu menghasut orang-orang Arab agar memerangiku. Sebagaimana ayahmu juga telah berbuat ini dan itu.” Hingga akhirnya kebencian itu benar-benar sirna dari diriku.” (7)

Tiada makian, hardikan atau kata kata yang mengesankan sikap kaku atau kebencian, yang ada adalah sebaliknya kesantunan dan kebaikan.

Sebagai saksi hidup, Shafiyah mengetahui seutuhnya bahwa selama ini ayahnya yaitu Huyai bin Akhthab berada pada pihak yang salah, dan selalu berusaha menggangu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berawal dari perkhianatan terhadap perjanjian untuk hidup bersandingan di kota Madinah, dilanjutkan dengan upaya memotovasi Quraisy, Bani Quraidhoh, Ghathafan, dan kabilah kabilah lain untuk memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semua itu dilakukan oleh Huyai bin Akhthab, padahal ia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar-benar seorang nabi. Ahli sirah meriwayatkan pengakuan Shafiyah berikut ini:

Aku mendengar pamanku Abu Yasir yang berkata kepada ayahku Huyai bin Akhthab: benarkah dia itu orangnya (nabi)? Ayahku menjawab: Benar, sunguh demi Allah. Kembali Pamanku bertanya: Apakah engkau benar benar mengenali dan telah membuktikanya? Ayahku kembali menjawab: Benar. Sekali lagi pamanku bertanya: Lalu apa yang engkau rencanakan? Ayahku menjawab: aku akan memeranginya selama hayat masih dikandung badan.(8)

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan kepada Shafiyah. Dengan demikian Shafiyah tidak merasa sebagai orang yang terhina atau tertindas, bahkan sebaliknya merasa terhormat dan mulia. Shafiyah radhiallahu ‘anha berkata: Sore itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tenda tempat aku di tawan. Setibanya di tendaku, beliau segera memanggil namaku. Dengan tertunduk malu aku memenuhi panggilanya dengan segera duduk di hadapan beliau. Selanjutnya beliau menawarkan dua pilihan kepadaku:

إن أقمت على دينك لم أكرهك وإن اخترت الإسلام واخترت الله ورسوله فهو خير لك

Jikalau engkau tetap mempertahankan agamamu, maka aku tidak akan memaksamu. Namun bila engkau memilih untuk masuk islam, memilih Allah dan Rasulnya, maka itulah yang terbaik untukmu.

Shafiyah menjawab tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan berkata: Aku lebih memilih Allah, Rasul-Nya dan masuk Islam. Segera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan aku dan menikahiku dengan kemerdekaanku sebagai mas kawinnya.(9)

 

Kunci Kedua: Keuletan dan Kesabaran Dalam Berkomunikasi.

Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan komunikasi nampak dengan jelas. Dalam berkomunikasi Beliau benar-benar jauh dari emosi, amarah atau sikap tergesa gesa ingin menyelesaikan proses komunikasi dan memenangkannya . Kesabaran beliau tergambar denga jelas pada penuturan Shafiyah radhiallahu ‘anha berikut ini:

فما زال يعتذر إلي ويقول : ( إن أباك ألب علي العرب وفعل وفعل ) حتى ذهب ذلك من نفسي

Beliau terus menerus tanpa lelah menjelaskan kepadaku alasan-alasannya berperang. Beliau berkata: “Sejatinya ayahmu menghasut orang-orang Arab agar memerangiku. Sebagaimana ayahmu juga telah berbuat ini dan itu.” Hingga akhirnya kebencian itu benar-benar sirna dari diriku.” (10)

Sebagai pemenang dalam peperangan bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras dan tegas, sehingga komunikasi segera terselesaikan. Terlebih lagi sejatinya Shafiyah radhiallahu ‘anha telah mengetahui banyak hal yang dilakukan oleh ayah dan kaumnya kepada ummat Islam, hingga akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya.

Walau demikian, beliau shallallau ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal itu, dengan tabah dan lembut. Satu demi satu benang kusut yang menyelimuti sikap beliau benar benar luruskan hingga akhirnya Shafiyah dapat menerima keputusan Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam berperang melawan ayahnya.

Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkomunikasi ini dapat menjadi bukti nyata kebenaran sabdanya berikut ini:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Sejatinya kelembutan tidaklah ada pada suatu urusan melainkan urusan itu menjadi indah dan sebaliknya tidaklah kelembutan dicabut dari suatu urusan melainkan urusan itu menjadi buruk.(11)

Kunci Ketiga : Beliau memuliakan Shafiyah radhiallahu anha.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan Shafiah dengan menjadikanya sebagai tawanan dirinya. Padahal sebelumnya Shafiyah telah dimiliki oleh sahabat Dihyah Al Kalby.

Diantara bentuk pemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Shafiyah tercermin dari jumlah tebusan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Dihyah Al Kalby radhiallallahu ‘anhu.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tujuh orang budak kepada sahabat Dihyah Al Kalby untuk menebus Shafiyah. Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tentu menjadikan Shafiyah merasa tersanjung. Shafiyah merasa bahwa ia lebih berharga dan mulia dibanding tujuh orang tawanan perang lainya.

Bukan hanya mendapat kesan lebih berharga dibanding tujuh orang dari karib-kerabatnya, namun Shafiyah semakin merasa tersanjung karena mengetahui keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahinya.

Keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat berarti bagi Shafiyah radhiallahu ‘anha, karena sesuai dengan pesan yang ia dapat dalam suatu mimpinya.

Dikisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan perihal wajah Shafiyah radhiallahu ‘anha yang berwarna biru karena lebam. Shafiyah menjawab: Suatu hari aku bercerita kepada suamimku bahwa aku bermimpi melihat bulan jatuh ke dalam pangkuanku. Mendengar kisahku ini, spontan suamiku marah dan memukulku seraya berkata: Apakah engkau menginginkan untuk menjadi istri penguasa negri Yatsrib (Madinah)?(12) (Ibnu Hibban, At Thabrany dan Al Baihaqy)

Sikap Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam ini benar-benar membuahkan hasilnya. Shafiyah benar benar merasa tersanjung dan berubah sikap, dari membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jadi mencintainya. Apa yang dialami oleh Shafiyah ini seakan membuktikan kebenaran pepatah arab:

أحسن إلى الناس تستعبد قلوبهم . . . فطالما استعبد الإنسان إحسان

Berbuat baiklah kepada orang lain niscaya engkau dapat menggenggam hatinya

Betapa banyak orang yang terbelenggu oleh kebaikan orang lain.

 

Penutup:

Komunikasi yang dijalankan dengan cerdas terbukti secara efektif mampu mengurai permasalahan yang sangat berat dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Melalui komunikasi yang cerdas nan bijak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menyelesaikan berbagai problematika rumah tangganya. Shafiyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha yang sedianya membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat berubah sikap dan mencintai beliau setelah berkomunikasi dengan beliau. Dan tentunya keharmonisan dan kedamaian dalam hidup berumah tangga dapat terwujud.

 

1( ) Surat Ar Ruum ayat 21.

2( ) Muhammad bin Isa, Sunan At Tirmizy, Kitab: Abwaab AL Manaqib, bab: Fi Fadhli Azwaaj An Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Juz: 5, hal: 369, hadits no: 3985, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Kitab: An Nikah, Bab: Husnu Mu’asyarah An Nisa’, Juz: 2, hal: 478, hadits no: 1977.

3( ) Muhammad bin Ismail; Shahih Bukhari, Kitab: Nikah bab : Al Khutbah, Juz : 5, hal: 1976, hadits No: 4851.

4( ) Ishaq bin Ibrahim, Musnad Ishaq bin Ibrahim Rahuyah, Juz: 4 hal: 260 riwayat no: 2085 & Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, juz: 13, hal: 26, hadits no: 7114.

5( ) Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, juz: 11/607, hadits no: 5199, Ahmad bin Husain , As Sunan Al Kubra, Kitab: As Sair Bab: Man Ra’a Qismata Al Aradhi Al Maghnumah Wa Man Lam Yaraaha, juz: 9/137. Menurut Ibnu Hajar, rentetan sanad riwayat ini semuanya tsiqah (memiliki kredibilitas tinggi). Fathul Baari, Juz: 7 hal: 479.

6( ) Idem.

7( ) Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabiir, juz: 24, hal: 67, hadits no: 177, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz: 1, hal: 607, dan Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra, juz: 9, hal: 137.

8( ) Ahmad bin Husain, Dalaa’il An Nubuwwah, juz: 2, hal : 533.

9( ) Muhammad bin Umar, Maghazi Al Waqidy, juz : 2, hal: 675 & Ali Bin Al Hasan, Tarikh Madinatu Ad Dimasyqi, Juz; 3, hal: 222.

10( ) Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, juz: 11/607, hadits no: 5199, Ahmad bin Husain , As Sunan Al Kubra, Kitab: As Sair Bab: Man Ra’a Qismata Al Aradhi Al Maghnumah Wa Man Lam Yaraaha, juz: 9/137. Menurut Ibnu Hajar, rentetan sanad riwayat ini semuanya tsiqah (memiliki kredibilitas tinggi). Fathul Baari, Juz: 7 hal: 479.

11( ) Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim Bin Al hajjaj, Kitab: Al Birru wa As Shilah wa Al Adab, Bab; Fadhlu Ar Rifqu, juz: 8, hal: 22, hadits no: 6767

12( ) Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabiir, juz: 24, hal: 67, hadits no: 177, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz: 1, hal: 607, dan Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra, As Sair Bab: Man Ra’a Qismata Al Aradhi Al Maghnumah Wa Man Lam Yaraaha, juz: 9, hal: 137.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *