Wanita Pernah Berzina dan Bertobat, Haruskah Menceritakan Kepada Calon Suami?
Pertanyaan:
“Dulu ana pernah berzina dengan pacar ana hingga hamil, dan kamipun menikah, namun akhirnya kami bercerai.Alhamdulillah ana sudah bertobat. Ana telah mengenal manhaj salaf dan telah berbusana yang syar’i. dan sekarang ana ingin menikah lagi. Apakah sebelum menikah, ana harus menceritakan aib ana tersebut kepada calon suamiana?karena ana takut kalo calon suami kecewa setelah menikah dengan ana.”
Jawaban:
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya:
Tidak diragukan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar. Dan diantara penyebab terjerusmusnya seseorang kedalam kenistaan ini ialah rendahnya iman dan moral masyarakat, serta praktek obral aurat dengan murah, terutama dari kaum wanita.
Diantara faktor yang menyuburkan perilaku hina ini ialah merajalelanya pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan. Banyak dari kirta yang berhati dingin tanpa takut dosa, mengumbar seluruh indranya untuk menikmati sesuatu yang tidak halal baginya. Perilaku ini sering kali menjadi langkah pertama begi terjerumusnya seseorang kedalam perbuatan nista ini. Oleh karena itu, jauh-jauh hari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari berbagai perangkap perzinaan ini
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakan kepada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami atau ayah, atau ayah suami atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara laki-laki atau putra-putra saudara laki-laki atau putra-putra saudari perempuan mereka, atau wanita-wanita muslimah atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” An Nur 30-31. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda:
(كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ) متفق عليه
“Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu atau menolaknya.” Muttafaqun ‘alaih
Para ulama’ menyatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan zina mata, karena zina mata adalah asal usul terjadinya zina tangan, lisan kaki, dan kemaluan([1]) .
Oleh karena itu hendaknya kita senantiasa waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi perangkap-perangkap perzinaan diatas, agar tidak terjerumus kedalam kenistaan ini, Allah ta’ala:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Al Isra’ 32
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya zina adalah piutang yang pasti kita tebus, dan tebusannya ada pada keluarga kita sendiri, dalam pepatah dinyatakan
عفوا تعف نساؤكم وأبناؤكم وبروا أباءكم يبركم أبناؤكم
Jagalah dirimu niscaya istri dan anakmu mu akan menjaga dirinya dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu.“([2])
Dan dalam pepatah arab lainnya dinyatakan:
الزنا دين قضاؤه في أهلك
“Perbuatan zina adalah suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu.”
Masing-masing dari kita seyogyanya bertanya kepada hati nurani masing-masing: Relakah kita bila anak gadis, atau saudara wanita atau ibu kita dizinai oleh orang lain? Bila tidak rela, maka janganlah berzina dengan anak atau seudara wanita atau ibu orang lain.
Dan bila anda telah tega menzinai anak atau saudara wanita atau ibu seseorang, maka semenjak itu ingatlah selalu bahwa pada suatu saat perbuatan yang serupa akan menimpa anak gadis anda atau saudara wanita anda atau bahkan ibu anda.
Oleh karena itu hendaknya setiap kita senantiasa berpikir panjang bila tergoda setan untuk melakukan perbuatan zina, baik zina kemaluan atau zina pandangan atau lainnya. Sebagaimana pedihnya hukuman Allah di dunia dan akhirat senantiasa kita ingat, agar kita tidak mudah terjerembab ke dalam kenistaan ini.
Diantara bentuk hukuman yang diberikan oleh Islam kepada para pezina selain dicambuk ialah diharamkannya menikah dengan mereka hingga mereka bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:
}الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ النور 26
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula) dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula).” An Nur 26.
Sebagian ulama’ ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini ada kaitannya dengan ayat ke-3 dari surat yang sama, yaitu firman Allah Ta’ala:
} الزَّانِي لا يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” An Nur 3. Sehingga penafsiran ayat ini menunjukkan bahwa lelaki yang tidak baik adalah pasangannya wanita yang tidak baik pula, dan sebaliknya wanita yang tidak baik adalah pasangannya orang yang tidak baik pula. Dan haram hukumnya bagi lelaki baik atau wanita baik untuk menikahi wanita atau lelaki yang tidak baik.([3])
Sebagian ulama’ menjabarkan penafsiran ini dengan lebih jelas lagi: Barang siapa yang menikahi wanita pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina. Dan orang yang meridhai perbuatan zina, maka seakan ia telah berzina. Bila seorang lelaki rela andai istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya untuk berbuat zina. Bila ia tidak cemburu ketika mengetahui istrinya berzina, maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa?! Dan wanita yang rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga rela dengan perbuatan tersebut. Barang siapa rela dengan perbuatan zina, maka ia seakan-akan telah berzina. Bila seorang wanita rela andai suaminya merasa tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun tidak puas dengan suaminya.
Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus kedalam kenistaan ini, hendaknya segera kembali kepada jalan yang benar. Hendaknya ia menyadari bahwa perbuatan zina telah meruntuhkan kehormatan dan jati dirinya. Sebagaimana hendaknya ia juga senantiasa waspada dari balasan Allah Ta’ala yang mungkin akan segera menimpa keluarganya.
Bila penyesalan dan rasa pilu telah menyelimuti sanubari, dan tekad untuk tidak mengulangi kenistaan ini telah menjadi bulat, istighfar kepada Allah senantiasa dipanjatkan. Bila berbagai jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali kedalam kenistaan ini, telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman Allah atas perbuatan ini dapat terhapuskan.
Mungkin ada yang bertanya: bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?
Ketahuilah saudaraklu, bahwa: Sahabat Ma’iz bin Malik radhiallahu ‘anhu mengaku kepada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala perajaman telah dimulai, dan sahabat Ma’iz merasakan pedihnya dirajam, iapun berusaha melarikan diri. Akan tetapi para sahabat yang merajamnya berusaha untuk mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabarai bahwa sahabat Ma’iz berusaha melarikan diri, beliau bersabda:
(هلا تركتموه لعله أن يتوب فيتوب الله عليه ) . أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة
“Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah akan mengampuninya.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah.
Berdasarkan hadits ini dan juga lainnya para ulama’ menyatakan bahwa orang yang berzina taubatnya dapat diterima Allah, walaupun tidak ditegakkan padanya hukum dera atau rajam. Dinatara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا {68} يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا {69} إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari qiyamat dan ia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al Furqaan 68-70
Ibnu Katsir berkata: “Tafsiran kedua: bahwa kejelekan yang telah lalu dengan benar-benar bertaubat akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu karena setiap kali pelaku dosa teringat akan lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan bertaubat/ memperbaharui penyesalannya. Dengan penafsiran demikian ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari qiyamat. Walaupun dosa-dosa itu tetap saja tertuliskan atasnya, akan tetapi itu semua tidak membahayakannya. Bahkan itu akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits yang shohih, dan keterangan ulama’ salaf.” ([4])
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak dari ulama’ yang berkredibilitas tinggi membolehkan kita untuk menikah dengan pezina yang benar-benar telah bertaubat.
Syeikh As Syinqithy berkata: “Ketahuilah bahwa menurutku pendapat ulama’ yang paling kuat adalah: bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan zina, menyesali perbuatan mereka, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, maka pernikahan mereka adalah sah. Sehingga seorang lelaki dibenarkan untuk menikahi wanita yang pernah ia zinahi setelah keduanya bertaubat. Sebagaimana dibolehkan bagi orang lain untuk menikahi mereka, tentunya setelah mereka bertaubat. Yang demikian itu karena orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak pernah melakukan dosa.” ([5])
Bila pezina adalah seorang wanita, dan ia hamil dari hasil perzinaan itu, maka untuk dapat menikahinya disyaratkan hal lain, yaitu ia telah melahirkan anak yang ia kandung, sebagaimana ditegaskan pada fatwa Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut : “Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad nikah dengannya, hingga ia benar-benar telah bertaubat dan telah selesai masa iddahnya.”([6])
Saudaraku, ketahuilah bahwa diantara perwujudan dari taubat kita dari perbuatan dosa ialah dengan tidak menceritakan perbuatan dosa kita kepada orang lain. Karena menceritakan lembaran kelam kepada orang lain merupakan pertanda akan lemahnya rasa malu, penyesalan dan rasa takut kepada Allah. Bahkan bisa saja perbuatan ini menjadi pertanda adanya kebanggaan dengan perbuatan nista tersebut. Simaklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
(كل أمتي معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل عملا بالليل ثم يصبح وقد ستره الله . فيقول : يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه ) . متفق عليه
“Setiap ummatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berterus-terang dalam bermaksiat. Dan diantara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah bila seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya, akan tetapi ia malah berkata: wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian. Padahal Tuhan-Nya telah menutupi perbuatannya, dan ia malah menyingkap tabir Allah dari dirinya.” Muttafaqun ‘Alaih. Dan pada hadits lain beliau bersabda:
(اجتنبوا هذه القاذورة التي نهى الله عز وجل عنها ، فمن ألم فليستتر بستر الله عز وجل ، فإنه من يبد لنا صفحته نقم عليه كتاب الله)
“Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan nista yang telah Alla Azza wa Jalla larang, dan barang siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah Azza wa Jalla, karena barang siapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya, maka kamipun akan menegakkan hukum Allah.” Riwayat Al Baihaqi dan dihasankan oleh Al Albani.
Berdasarkan dalil ini dan juga lainnya, para ulama’ menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang telah terjerumus ke dalam dosa, agar merahasiakan dosanya tersebut, dan tidak menceritakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya anda menceritakan masa lampau anda kepada siapapun termasuk kepada lelaki yang melamar anda. Terlebih-lebih bila anda benar-benar telah bertaubat, dan menyesali dosa anda. Karena yang wajib untuk diceritakan kepada pelamar anda adalah cacat atau hal-hal yang akan menghalangi atau mengurangi kesempurnaan hubungan suami istri.([7]) Adapun perbuatan dosa, terlebih-lebih yang telah ditinggalkan dan disesali, maka tidak boleh diceritakan, karena siapakah dari kita yang tidak pernah berbuat dosa?
Pada kesempatan ini saya merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudaraku sekalian agar senantiasa menjadikan pasangan hidupnya sebagai cermin akan jati dirinya. Bila anda menjadi marah atau benci karena mengetahui ada kekurangan pada pasangan anda, maka ketahuilah bahwa andapun memiliki kekurangan yang serupa atau lainnya yang mungkin lebih besar dari kekurangannya. Dan bila anda merasa bahwa diri anda memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pasangan anda, maka ketahuilah bahwa iapun memiliki kelebihan yang tidak ada pada diri anda. Oleh karena itu jauh-jauh hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kita dengan sabdanya:
(لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مؤمنة إن كَرِهَ منها خُلُقًا رضى منها آخَرَ)
“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukmin, bila ia membenci suatu perangai darinya, niscaya ia suka dengan perangai yang lain.” Muslim.
Demikianlah seyogyanya seorang muslim bersikap dan berfikir, tidak sepantasnya kita bersifat egois, hanya suka menuntut, akan tetapi tidak menyadari akan kekurangan diri sendiri. Bila kita menuntut agar pada diri calon pasangan kita terdapat berbagai kriteria yang indah, maka ketahuilah bahwa calon pasangan kitapun memiliki berbagai impian tentang pasangan hidup yang ia dambakan. Karenanya, sebelum kita menuntut, terlebih dahulu wujudkanlah tuntutan kita pada diri kita sendiri, dengan demikian kita akan dapat berbuat adil dan tidak semena-mena dalam bersikap dan menentukan kriteria ideal calon pasangan hidup.
Semoga pemaparan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah Ta’ala mensucikan jiwa kita dari noda-noda kenistaan. wallahu ta’ala a’alam bisshowab.
[1] ) Baca: Fathul Bari oleh ibnu Hajar Al Asqalani 11/504, & Faidhul Qadir oleh Al Munawi 2/247.
[2] ) Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 15/315-323.
[3] ) Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thobary 18/108, Tafsir Al Qurthuby 12/211, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 15/322, dan Tafsir Ibnu Katsir 3/278.
[4] ) Tafsir Ibnu Katsir 3/328.
[5] ) Adhwa’ul Bayan oleh Muhammad Al Amin As Syinqithy 5/429.
[6] ) Majmu’ Fatawa Lajnah Ad Daimah 18/383, fatwa no: 17776.
[7] ) Baca As Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin 12/203.
bagaimana dengan wanita yg pernah berzina dgn kekasihnya,lalu mereka putus sebelum menikah.sang wanita pun tidak hamil.kemudian ia bertaubat.
lalu apakah sama halnya dgn diatas,yakni sang wanita tidak boleh menceritakan masalalunya kepada laki2 yg melamarnya ataukah harus diceritakan?? karena dalam hal ini,masalahnya sang wanita sudah tidak perawan lagi.yang dikhawatirkan kalau tidak diceritakan kepada pelamar akan menjadi sebuah masalah ketika mereka telah menikah dan laki2 baru mengetahui bahwa istrinya sudah tidak perawan.
mohon jawabannya.
Lyra@ iya sama hukumnya, wanita tidak wajib untuk menceritakan aib kepada calonnya
nah yang jadi pertanyyan saya sekarang,
1. yang antum maksud dgn kata “tidak wajib” berarti “boleh” ya??
2. bagaimana mengatasi permasalahan jika laki2 baru tau bahwa istrinya sudah tidak perawan lagi setelah menikah??
mohon jawaban yang mendetail ustad
Terkai pertanyaan Anda bisa dibaca pada link dibawah ini:
Ketika Menikah Mengaku “Gadis”
dan
Ternyata Istriku Tidak Perawan
Serba susah ustad. Mengaku salah, tidak mengaku kemudian ketahuan malah menjadi masalah. Syukur kalau si suami mau terima, kalau tidak??..
tidak ada yg mengharuskan untuk mengaku,bahkan kita disyari’atkan untuk merahasiakan perbuatan dosa kita dari siapapun, sebagai kesempurnaan taubat kita.