Bijak Menyikapi Cemburu Buta (Bag. 1)


Bijak Menyikapi Cemburu Buta (Bag. 1)

            Di masyarakat beredar slogan atau gambaran tentang rumah tangga yang harmonis, ialah keluarga yang tanpa prahara atau sengketa.

Banyak orang beranggapan bahwa rumah tangga yang harmonis adalah rumah tangga yang tanpa masalah .  Mereka menggambarkan rumah tangga yang harmonis dalam ungkapan seiya dan sekata.

Persepsi ini menyebabkan sebagian orang ditimpa kekecewaan yang sangat mendalam tatkala mendapatkan suami atau istrinya bersilang pendapat atau keinginan dengannya apalagi sampai pada tahap percekcokan.

Akibatnya, banyak pasangan suami istri yang ditimpa putus asa dan kekecewaan yang mendalam. Mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan impian seiya dan sekata demi terwujudnya keharmonisan dalam rumah tangganya, akan tetapi keharmonisan yang mereka dambakan seakan hanya ada dalam lamunan atau impiannya belaka.

Alih alih mendapatkan keharmonisan, percekcokan dalam rumah tangganya seakan tiada akhirnya . Berganti dari satu masalah ke masalah lainnya, bahkan setiap urusan dalam rumahnya seakan menyulut api perselisihan dan percecokan antara mereka. Sampai-sampai banyak orang akhirnya menyerah pada kenyataan dan merubah slogan rumah tangganya menjadi cekcok adalah bumbunya rumah tangga.

Sekilas ucapan mereka ini terdengar rasional dan dapat diterima, namun ternyata bila direnungkan dengan seksama ucapan ini sejatinya adalah bentuk kekalahan dalam menghadapi permasalahan. Betapa tidak, ucapan  ini mengesankan bahwa keharmonisan dalam rumah tangga harus diwujudkan dengan melakukan percekcokan. Bila tidak pernah cek-cok atau minimal jarang cek-cok maka rumah tangganya bagaikan masakan yang kurang bumbu, alias kurang sedap, atau hambar dan membosankan.

  1. Harmonis Bukan Berarti Bebas Dari Cemburu.

 

Rasa cemburu adalah implikasi dari adanya rasa cinta, sehingga sepatutnya disyukuri bukan ditakuti atau dimusuhi. Sebagai buktinya, rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  manusia terbaik dan keluarga paling harmonis, sebagaimana tergambar pada hadits di atas, tidak luput dari persoalan cemburu. Bedanya, beliau berhasil melalui segalanya dengan arif dan bijak, sehingga berbagai dinamika rasa cemburu menjadikan rumah tangga beliau semakin terasa indah. Sebagai suri tauladan belah membuktikan dengan sempurna bagaimana seyogyanya seorang muslim mengurai permasalahan tersebut tanpa mengurangi keharmonisan rumah tangganya.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terang,  maka saya akan mengetengahkan tiga kisah tentang dinamika kecemburuan antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kiat beliau dalam menghadapinya.

Kisah pertama:

Pada suatu hari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha  pernah mengirimkan sepiring  masakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu sedang berada di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha . Tak ayal lagi, kiriman masakan ini memantik kecemburuan pada diri Aisyah, hingga akhirnya beliau tidak kuasa menahan rasa cemburunya. Dengan bersungut-sungut ia memukul bejana yang dipenuhi dengan masakan tersebut hingga pecah dan makanannya jatuh berserakan.

Tanpa banyak berbicara, segera  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memunguti makanan yang berserakan lalu berkata kepada para sahabat:

غَارَتْ أُمُّكُمْ كُلُوا

“Ibu kalian sedang dilanda rasa cemburu!. Silahkan kalian menyantap masakan ini.” (HR Bukhari) ([2])

Subhanallah, masalah yang bagi banyak orang dianggap sebagai masalah serius karena dapat menjadikan suami merasa malu, terlebih kejadian itu dilakukan dihadapan tamu.  Namun demikian, ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapinya dengan tenang dan sangat arif.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tenang dan bahkan terkesan seakan merasa tidak ada masalah. Yang demikian itu karena beliau memahami bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha   melakukan tindakannya semata-mata karena luapan rasa cinta yang tiada kuasa ia bendung.

Terlebih lagi menurut Imam At Thiby rahimahullah bahwa ada indikasi bahwa istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mengirimkan makanan tersebut ada maksud ingin memancing rasa cemburu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha . Karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam segera memberikan klarifikasi tentang penyebab kejadian ini yaitu  rasa cemburu yang biasa terjadi antar madu. Dan biasanya sesama madu tidak kuasa untuk menahan rasa cemburunya pada kondisi semacam ini. ([3])

Apalagi dalam riwayat Imam At Thabari disebutkan :

أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم بصحفة خبز ولحم من بيت ام سلمة فوضعت بين يدي النبي صلى الله عليه و سلم فقال ضعوا ايديكم فوضع نبي الله صلى الله عليه و سلم يده ووضعنا ايدينا فأكلنا قال وعائشة تصنع طعاما عجلة قد رأت الصحفة التي اتي بها فلما فرغت من طعامها جاءت به فوضعته ورفعت صحفة ام سلمة وكسرتها وقالت وقالت

bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikirimi hidangan yang terdiri dari roti dan daging. Tak ayal lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyantap hidangan itu dengan lezat. Tatkala mereka telah selesai menyantap hidangan itu, barulah ‘Aisyah selesai dari mmemasak dan segera menyuguhkan masakannya yang ia olah dengan tergesa gesa. Tatkala ‘Aiysah menyuguhkan masakan hasil olahannya, ia segera mengangkat bejana milik Ummu Salamah dan meluapkan rasa kecemburuannya.

Untuk mengobati kecemburuan ‘Aisyah radhiallallahu ‘anha, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para tamunya:

كلوا باسم الله غارت امكم

Makanlah dengan menyebut nama Allah, karena ibu kalian merasa cemburu. (HR. At Thabrani)([4])

Kejadian ini tentu saja menyakitkan perasaan ‘Aisyah sebagai tuan rumah yang telah berusaha menyiapkan sajian untuk tamunya, ternyata tamunya telah selesai menyantap hidangan yang dikirimkan oleh madunya.

Bila anda mencermati sikap ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  di atas, niscaya anda dapat memahami betapa berat perasaannya kala itu. Dikala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumahnya, namun salah seorang madunya mengirimkan hidangan yang lezat. Akibatnya rasa cemburu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  tersulut. Ia tidak rela bila sang suami yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikmati masakan hasil karya wanita yang menjadi madunya. Nalurinya sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, mengatakan bahwa ia tidak rela bila ada wanita lain yang mencuri perhatian suaminya, terlebih di saat sang suami sedang berada di rumahnya.

Lihatlah betapa arif dan bijaknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala itu, beliau hanya diam memunguti makanan yang terjatuh tadi, seraya berkata kepada para tamunya guna mencairkan suasana, “Makanlah. Sesungguhnya ibu kalian ini (yaitu Aisyah)  sedang dilanda cemburu .”

Kisah Kedua:

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Melihat pemandangan itu, segera ‘Aisyah menyiapkan masakan untuk disajikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.  Pada saat yang sama Hafshah radhiallahu ‘anha  juga melakukan hal yang sama, dan ternyata Hafshah lebih dahulu menyelesaikan masakannya dan segera bermaksud menyajikan makanan hasil olahannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Aisyah yang menyadari keterlambatannya, merasa tidak terima sehingga ia memerintahkan budak wanitanya untuk menumpahkan hidangan hasil olahan Hafshah radhiallahu ‘anha . Segera budak wanita itu menjalankan perintah ‘Aisyah, dan menjatuhkan bejana makanan hasil olahan Hafshah, padahal beliau hampir saja meletakkan hidangan itu di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akibat dari kejadian ini, bejana milik Hafshah menjadi pecah dan makanan hasil olahannya juga tumpah berserakan.

Walau demikian, lagi lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap dingin dan segera mengumpulkan makanan yang berserakan lalu mempersilahkan para sahabat untuk menyantap makanan tersebut.

Pada kisah ini nampak dengan jelas ada kesan kesengajaan, namun demikian tetap saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tenang dan mampu menguasai emosinya alias tidak marah. Pada akhir kisah ini, ‘Aisyah menjelaskan perkatannya:

فَمَا رَأَيْتُ ذَلِكَ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak melihat ada tanda-tanda marah pada raut wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Riwayat Ibnu Majah hadits no: 2324)

 

Kisah Ketiga:

            Aisyah radhiallahu anha mengisahkan: suatu malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara diam diam keluar dari rumahku. Maka sikap beliau ini menjadikan aku merasa cemburu. Sekembalinya beliau dari luar rumah, beliau memahami sikapku yang sedang hanyut dalam rasa cemburu. Segera beliau bertanya kepadaku: apakah engkau sedang ditimpa rasa cemburu?

Mendapat pertanyaan seperti ini, Aisyah menjawab:

وَمَا لِى لاَ يَغَارُ مِثْلِى عَلَى مِثْلِكَ؟

Mana mungkin wanita seperti aku tidak terus ditimpa rasa cemburu  memiliki suami seperti engkau (suami idaman setiap wanita)? Mendengar jawaban istri tercinta,  beliau bersabda:

(أَقَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ ).

Wahai ‘Aisyah, apakah setanmu telah datang lagi?” Tak ayal lagi, pertanyaan ini mengejutkan ‘Aisyah dan menjadikannya takut, sehingga ia bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ مَعِىَ شَيْطَان؟

Wahai Rasulullah! Apakah ada setan di sisiku? Rasululah menjawab: Betul. Kembali ‘Aisyah bertanya: Dan ada pula di sisi setiap manusia? Beliau menjawab: Betul. Lagi-lagi ‘Aisyah bertanya : Termasuk dirimu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab:

( نَعَمْ وَلَكِنْ رَبِّى أَعَانَنِى عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ ).

Betul, hanya saja Allah telah menolongku, sehingga setan yang berada di sisiku masuk Islam.” (HR. Muslim)

Pada kisah ini, nampak kearifan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang menjelaskan secara halus namun lugas tentang hakekat kecemburuan istrinya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha . Kecemburuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  pada kisah ini adalah cemburu buta yang hanya dilandasi oleh prasangka buruk belaka. Karena itu pada kejadian ini Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam memberikan pelajaran atau teguran keras kepada ‘Aisyah agar tidak mengulang kesalahannya menuruti perasaan cemburu buta.

Pada riwayat lain ‘Aisyah mengisahkan bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bukan hanya memberikan teguran dalam bentuk lisan, namun juga memberikan teguran dalam bentuk fisik, sebagaimana terungkap pada penuturan ‘Aisyah berikut ini:

فَلَهَدَنِى فِى صَدْرِى لَهْدَةً أَوْجَعَتْنِى

Beliau menekan dadaku dengan kuat, hingga terasa sakit di dadaku.

Seusai memberikan teguran fisik, Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam  bertanya kepada ‘Aisyah :

( أَظَنَنْتِ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ ).

Apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan berbuat curang kepadamu? ‘Aisyah menjawab: Sepandai-pandai manusia menyembunyikan sesuatu, namun Allah pasti mengetahuinya. Betul aku kawatir engkau berbuat curang. ) (HR. Muslim)

Pada riwayat lain, dijelaskan maksud ‘Aisyah dari kata curang yaitu, ia kawatir bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi istri beliau yang lain. ‘Aisyah berkata:

ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَك

Aku menduga engkau akan mendatangi istrimu yang lain (HR. Amad dan lainnya)

 

Kisah Keempat:

Pada kisah lain, ‘Aisyah menceritakan: Aku tidak pernah merasa cemburu kepada seorang wanita dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebesar kecemburuanku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah berjumpa dengannya. Namun demikian, dahulu Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali menyebut namanya. Bahkan kadang kala beliau secara khusus menyembelih seekor kambing, lalu memotong-motongnya. Selanjutnya beliau membagi-bagikan daging kambing sembelihannya itu kepada sahabat-sahabat Khadijah. Dan kadang kala aku tidak kuasa menahan rasa cemburuku, sehingga aku berkata kepada beliau: apakah di dunia ini tiada wanita selain Khadijah? Namun ternyata beliau marah mendengar ucapanku ini dan bersabda:

إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ ، وَكَانَ لِى مِنْهَا وَلَدٌ

Sejatinya dahulu Khadijah telah berbuat demikian dan demikian, dan aku dikaruniai anak keturunan darinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan ‘Aisyah perihal Khadijah dengan bersabda:

ما أبدلني الله عز و جل خيرا منها قد آمنت بي إذ كفر بي الناس وصدقتني إذ كذبني الناس وواستني بمالها إذ حرمني الناس ورزقني الله عز و جل ولدها إذ حرمني أولاد النساء

Allah tiada pernah memberiku pengganti yang lebih baik dibanding Khadijah. Dia beriman kepadaku di saat seluruh manusia menentangku, ia mempercayaiku di saat seluruh manusia mendustakanku. Ia membantuku dengan harta kekayannya di saat seluruh manusia enggan memberiku. Dan Allah mengaruniaku anak keturunan darinya sedangkan Allah tidak mengaruniaku anak keturunan dari istri-istriku selainnya. (HR Ahmad)

Pada kisah ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam murka kepada ‘Aisyah yang menampakkan kecemburuannya kepada wanita yang telah meninggal dan memiliki jasa yang tidak tergantikan. Kecemburuan ‘Aisyah kepada Khadijah padahal ia telah wafat sangat tidak beralasan, karena Khadijah bukanlah madu ‘Aisyah dan juga tidak menyainginya. Sehinga tidak ada kekawatiran bahwa Khadijah akan merugikan atau merebut kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah. Terlebih pada saat ia meluapkan kecemburuannya ini, ia telah menjadi wanita paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Kisah Kelima :

Lali-lagi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha  mengisahkan :

ما رأيت صانعة طعام مثل صفية أهدت إلى النبي صلى الله عليه و سلم إناء فيه طعام فما ملكت نفسي ان كسرته فقلت يا رسول الله ما كفارته فقال إناء كإناء وطعام كطعام

Aku tidak pernah mengenal seorang wanita yang mahir membuat masakan seperti Shafiyah. Suatu hari ia mengirimkan sepiring makanan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengetahui hal itu, aku tidak kuasa menahan rasa cemburuku, sehingga akupun memecahkan piring tersebut. Setelah aku menyadari kesalahanku, aku berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ مَا صَنَعْتُ؟

Ya Rasulullah! Apa tebusan kesalahanku? Rasulullah menjawab:

إِنَاءٌ كَإِنَاءٍ وَطَعَامٌ كَطَعَام ٍ

Bejana diganti dengan bejana dan makanan diganti dengan makanan. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai)

Kearifan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terbukti efektif meredam benih benih prahara dalam rumah tangganya. Sehingga meski letupan letupan emosi atau kecemburuan menyebabkan adanya tindakan yang diluar kontrol, namun semua itu tidak sampai mengurangi keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga beliau.

Sebaliknya, kisah di atas juga mengambarkan betapa luhur sikap ‘Aisyah radhiallallahu ‘anha. Walaupun ia hanyut dalam kecemburuan, namun demikian kondisi itu tidak berkepanjangan. Beliau segera menyadari kesalahan sikapnya yang hanyut dalam badai rasa cemburu, dan berbesar hati menanggung akibat dari sikapnya.

Kisah nyata ini mengharuskan kita untuk menyadari bahwa rumah tangga yang harmonis bukan berarti tanpa letupan cemburu dan kesalah pahaman. Letupan rasa cemburu dan salah paham bisa saja terjadi, karena itu semua adalah bagian dari dinamika kehidupan rumah tangga. Berbagai dinamika kehidupan rumah tangga sepatutnya tidak meruntuhkan keharmonisan bila suami dan tentunya juga istri bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana sebagaimana yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah di atas.

[1]). Muhamma bin Isa At Timizy, Sunan At Tirmizy, Kitab: Al Manaqib, Bab: Fadhlu Azwaaji An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , Juz: 5, Hal: 709, no hadits: 3895, dan Muhammad Nashruddin Al Albani, As Silsilah As Shahihah, Juz: 1, hal: 284, no hadits: 285.

[2]).  Muhammad bin Ismail, Shahih Al Bukhari, Kitab: An Nikah, bab: Al Ghirah, Juz: 5, hal: 203, no hadits: 4927.

[3]).  Ibnu Hajar Al Asqalaani, Fathul Bari Juz: 9 Hal: 325.

[4]).  Abu Al Qasim At Thabraani, Al Mu’jam Al Ausath, juz: 4, hal: 275, no hadits: 4184.

 

 

berlanjut:…………….




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *